Sedang Belajar Meregulasi Kebaperan Yang Ditimbulkan Oleh Perlakuan Manusia 🙂

sedang belajar meregulasi kebaperan yang ditimbulkan oleh perlakuan manusia 🙂

aku merasa gak melakukan apa-apa ke orang itu, tapi kenapa ya kayaknya kok benci banget ke aku. keliatan banget dari cara dia liat aku. tapi ya mungkin ada sifat yang melekat di diri aku yang dia gak suka. yaudasih terserah 😏

rasanya pengen ngasih "pandangan gak suka" yang sama ke dia. pengen ngasih tau kalau bukan cuma kamu yang bisa gak suka sama orang, tapi orang juga bisa gak sesuka itu sama kamu. kalau lagi ada di sekitar dia auto tidak merasa nyaman.

tapi aku memutuskan untuk bersikap normal. biasa aja. gak benci gak suka. kalau ditanya olehnya ya aku jawab, kalau dicuekin ya normal. padahal dalem hati gak nyaman bener deket ni orang, kerasa banget vibes kebenciannya. i am still respect her.

apa aku munafik?

kalau benci ya benci, tampakin aja apa yang di dalam hati. apa harusnya gini? dulu aku gini sih, balas balik perlakuan orang.

tapi sekarang, aku ingin menyikapi perlakuan orang dengan lebih bijak, sekali lagi gak semua orang harus suka dan nyaman sama aku, karena aku punya 1000 kekurangan yang mungkin gak aku sadari. karena aku sudah tau bagaimana rasanya diberi pandangan benci/sinis/gak suka, jadi aku gak mau orang lain merasakan apa yang aku rasa. simpelnya, aku berusaha itu tidak membalas perlakuan orang yang aku sendiri gak mau diperlakuin seperti itu.

aku menyebutnya kualitas diri. aku tidak ingin menambah bad side yang bersemayam di diriku. jelek-jelek yang ada pada diri harusnya dikurangin, bukan malah nambah.

lagi belajar untuk jadi sosok yang lebih bijak. semangat ya aku :)

More Posts from Drinkwatersoon and Others

3 years ago
Next October, Biidznillaah
Next October, Biidznillaah

Next october, biidznillaah

1 year ago

was was kalau udah muncul gejala batpil 🙃🙃 semoga segera reda dan gak lanjut ke gejala yg berat huhu, trauma pernah batpil berkepanjangan hampir 1 bulan baru sembuh 🤧

3 years ago

kemarin, mood ku dibuat hancur berantakan oleh orang itu. kegiatan mengajarku malah jadi tidak fokus dan terkesan tidak sabaran.

aku hanya menyesal menjadikan diriku kalah dengan perasaanku. tidak seharusnya perlakuan orang itu mengontrol mood ku hari ini.

iya aku memang sebaper itu.

malah aku ingin memutuskan resign hanya karena malas bertemu apapagi berkoordinasi dengan orang itu.

tapi aku tidak mau dia "mengontrol" hidupku. masa gara-gara dia aku resign. please, dia tidak sepenting itu bagiku.

3 years ago
~Jika Suatu Saat Nanti Kau Jadi Ibu 🌸

~Jika suatu saat nanti kau jadi ibu 🌸

Jadilah seperti Nuwair binti Malik yang berhasil menumbuhkan kepercayaan diri dan mengembangkan potensi anaknya .

Saat itu sang anak masih remaja. Usianya baru 13 tahun. Ia datang membawa pedang yang panjangnya melebihi panjang tubuhnya, untuk ikut perang badar.

Rasulullah tidak mengabulkan keinginan remaja itu. Ia kembali kepada ibunya dengan hati sedih.

Namun sang ibu mampu meyakinkannya untuk bisa berbakti kepada Islam dan melayani Rasulullah dengan potensinya yang lain.

Tak lama kemudian ia diterima Rasulullah karena kecerdasannya, kepandaiannya menulis dan menghafal Qur’an.

Beberapa tahun berikutnya, ia terkenal sebagai sekretaris wahyu.

Karena ibu, namanya akrab di telinga kita hingga kini: Zaid bin Tsabit.

~Jika suatu saat nanti kau jadi ibu 🌸

jadilah seperti Shafiyyah binti Maimunah yang rela menggendong anaknya yang masih balita ke masjid untuk shalat Subuh berjamaah.

Keteladanan dan kesungguhan Shafiyyah mampu membentuk karakter anaknya untuk taat beribadah, gemar ke masjid dan mencintai ilmu.

Kelak, ia tumbuh menjadi ulama hadits dan imam Madzhab. Ia tidak lain adalah Imam Ahmad .

~Jika suatu saat nanti kau jadi ibu 🌸

Jadilah ibu yang terus mendoakan anaknya . Seperti Ummu Habibah . Sejak anaknya kecil, ibu ini terus mendoakan anaknya .

Ketika sang anak berusia 14 tahun dan berpamitan untuk merantau mencari ilmu, ia berdoa di depan anaknya :

“Ya Allah Tuhan yang menguasai seluruh alam ! Anakku ini akan meninggalkan aku untuk berjalan jauh, menuju keridhaanMu . Aku rela melepaskannya untuk menuntut ilmu peninggalan Rasul-Mu . Oleh karena itu aku bermohon kepada-Mu ya Allah, permudahlah urusannya . Peliharalah keselamatannya, panjangkanlah umurnya agar aku dapat melihat sepulangnya nanti dengan dada yang penuh dengan ilmu yang berguna, aamiin !”.

Doa-doa itu tidak sia-sia. Muhammad bin Idris, nama anak itu, tumbuh menjadi ulama besar. Kita mungkin tak akrab dengan nama aslinya, tapi kita pasti mengenal nama besarnya: Imam Syafi’i .

~Jika suatu saat nanti kau jadi ibu 🌸

Jadilah ibu yang menyemangati anaknya untuk menggapai cita-cita. Seperti ibunya Abdurrahman .

Sejak kecil ia menanamkan cita-cita ke dalam dada anaknya untuk menjadi imam masjidil haram, dan ia pula yang menyemangati anaknya untuk mencapai cita-cita itu .

“Wahai Abdurrahman, sungguh-sungguhlah menghafal Kitabullah, kamu adalah Imam Masjidil Haram…”, katanya memotivasi sang anak .

“Wahai Abdurrahman, sungguh-sungguhlah, kamu adalah imam masjidil haram…”, sang ibu tak bosan-bosannya mengingatkan .

Hingga akhirnya Abdurrahman benar-benar menjadi imam masjidil Haram dan ulama dunia yang disegani .

Kita pasti sering mendengar murattalnya diputar di Indonesia, karena setelah menjadi ulama, anak itu terkenal dengan nama Abdurrahman As-Sudais.

~ Jika suatu saat nanti kau jadi ibu 🌸

Jadilah orang yang pertama kali yakin bahwa anakmu pasti sukses . Dan kau menanamkan keyakinan yang sama pada anakmu . Seperti ibunya Zewail yang sejak anaknya kecil telah menuliskan “Kamar DR. Zewail” di pintu kamar anak itu .

Ia menanamkan kesadaran sekaligus kepercayaan diri . Diikuti keterampilan mendidik dan membesarkan buah hati, jadilah Ahmad Zewail seorang doktor . Bukan hanya doktor, bahkan doktor terkemuka di dunia .

Dialah doktor Muslim penerima Nobel bidang Kimia tahun 1999

Semoga terinspirasi…

✍🏻 WA BIS ( Belajar Ilmu Syar'I Akhwat )

🍂🍃Untuk para ibu dan calon ibu

3 years ago

Cerdas mengelola emosi.

Sering bgt, kalau lagi gak mood dan ditanya-ditanyain sesuatu pasti bawaannya pengen marah dan emosi. Apalagi pertanyaannya menyentil sesuatu yang membuat mood down kebawah.

" kenapa marah ? Kan nanyanya baik-baik ! Udah ah males !"

Aku marah, karena pertanyaannya. Bukan caramu membawakan pertanyaan.

Well. Aku akui aku salah. Sekarang aku tidak mau menyalahkan ataupun membela perilakuku. Inhale exhale. Aku terima kamu apa adanya hari ini diriku. Janji ya besok gak gitu lagi. Kalau gak mood ditanya mending jawab gak tahu aja dengan santai, gak usah pake urat :). Jawab aja dengan jawaban simpel sampai orang itu gak perlu bertanya lagi. Energimu sayang kalau dipake buat marah diriku sayang :))

1 year ago

Takut Diculik

Hari ini gemes banget sama anak-anak. Masa iya cuma karena adek kelasnya minta tolong sama aku untuk dianterin ke suatu tempat, merekanya jadi posesif wkwkw. aku dipeluk gak boleh pergi, mereka gak mau aku diculik sama adik kelas 2 katanya, hahaha.

nak, makasih yaa udah menerima aku menjadi bagian dari kalian. terharu 🥺🥺

semoga Allaah mudahkan perjalanan ini, aamiin 🥰

3 years ago
Pulanglah.

Pulanglah.

Jika bising di luar membuatmu tak bisa bicara. Di sini masih sunyi. Sepelan apapun kata-kata keluar akan tetap ditangkap telinga.

Pulanglah.

Jika panasnya jalanan membuat kulitmu berubah warna. Di sini tetap teduh. Seberapapun matahari menampakkan wajahnya kau tak akan gerah.

Pulanglah.

Jika di luar sana kau se-orang dipenuhi sesak, sibuk menangisi kecewa yang berserak. Di sini kau tak sendiri. Menangis pun ditemani.

Pulanglah nak..

Di luar; seberapapun kau kejar bahagia. Di rumah ada segalanya.

(Vivi Aramie)

4 years ago

Melihat Keluarga seperti Melihat Perusahaan

Bismillah.

Baru-baru ini saya menyadari suatu hal: jika kita bisa memandang keluarga sebagaimana kita memandang sebuah perusahaan, maka mengelola keluarga ternyata bisa lebih challenging daripada mengelola perusahaan.

Di sisi lain, jika kita mau serius mengelola keluarga seserius kita mengelola perusahaan, maka reward yang akan kita rasakan juga akan jauh lebih besar dibanding jika kita mengelolanya “ala kadarnya” (seperti yang kita lakukan sekarang ini, mungkin).

Mari kita perhatikan beberapa aspek pada perusahaan yang bisa kita jadikan analogi terhadap keluarga: mengapa suatu perusahaan lahir, bagaimana suatu perusahaan dijalankan, dan bagaimana perusahaan berekspansi.

Pertama, mengapa suatu perusahaan lahir.

Paling tidak, biasanya ada dua alasan yang melatari lahirnya suatu perusahaan: (1) motif mencari keuntungan dan (2) hasrat ingin menyelesaikan suatu masalah atau ingin memberikan nilai tambah pada suatu hal.

Seberapa mungkin perusahaan yang lahir dengan proposisi lemah seperti “Ya, karena saya harus membangun perusahaan? Masa tidak? Emang saya harus ngapain lagi?” akan menjadi perusahaan yang sejahtera dan berumur panjang? (Sangat kecil kemungkinannya menurut common sense saya–tapi mungkin saya salah).

Sekarang coba kita jadikan ini analogi terhadap keluarga: mengapa suatu keluarga lahir. Kira-kira, keluarga seperti apa yang akan terbentuk jika alasan pernikahan dua insan yang membentuknya adalah, “Ya, karena saya harus? Karena semua orang melakukannya? Karena sudah saatnya? Masa ngga nikah?”.

Bahkan, menurut pendapat saya, alasan “Ingin beribadah” atau “Menunaikan sunnah Rasul” masih termasuk alasan yang terlalu general, terlalu luas, sehingga tidak menciptakan sense of direction–kita tahu tujuan spesifik kita, dan kita bisa mengukur di mana posisi kita saat ini relatif terhadap tujuan itu. Akibatnya, kehidupan setelah pernikahan seperti menaiki sekoci di lautan lepas tanpa kompas dan dayung, terombang ambing begitu saja, hanya mengandalkan takdir untuk bisa menemukan daratan.

Alih-alih, saya pikir sebaiknya dua insan yang mau menikah punya proposisi yang kuat untuk melakukan pernikahan. Meski trigger-nya adalah let’s say “cinta”, tapi ngga ada salahnya kita berefleksi dan menyepakati apa yang mau kita capai dengan pernikahan ini.

Mungkin sebagian dari kita dulu punya hal seperti ini (”Visi pernikahan: mengubah dunia menjadi lebih baik”), sayangnya di tengah perjalanan kita terdistraksi oleh berbagai hal lalu lupa–sebagaimana perusahaan yang sudah lahir, mulai established menjalani business as usual, lalu lupa akan true north star-nya.

Kedua, bagaimana suatu perusahaan dijalankan.

Katakanlah perusahaan mulai tumbuh. Hal-hal yang harus diurusi semakin banyak, sehingga perusahaan mulai hiring dan menempatkan orang dengan peran-peran spesifik.

Ada yang di-assign khusus mengurusi keuangan, ada yang khusus mengurusi manusia (HR), dan seterusnya. Semakin mature perusahaan, semakin banyak role “aneh” yang terbentuk dan memerlukan orang untuk memikirkannya, katakanlah impact manager, growth hacker, dan lainnya.

Dalam konteks perusahaan, hal ini gampang gampang susah. Tidak mudah, tapi selama ada uang dan ada leadership yang bagus, maka hal seperti ini bisa dikelola.

Dalam konteks keluarga, hal seperti itu susah susah gampang (susahnya 2x), karena kita tidak bisa hiring begitu saja. Beberapa tugas mungkin kita bisa assign ke orang lain, misalnya urusan beres-beres rumah ke asisten rumah tangga, urusan ngasuh anak sebagian kita berikan ke daycare/pengasuh/orang tua, urusan makanan kita assign ke GoFood. Tapi banyak sekali hal yang tidak bisa kita assign ke orang lain.

Urusan pengelolaan keuangan harus kita kerjakan sendiri (perencanaan, monitoring, evaluasi, dll) (kecuali kamu udah kaya dari dulu dan tinggal bayar financial advisor dan ikuti advice-nya, tapi saya ragu juga apakah kita bisa ikuti secara mindlessly).

Belum lagi urusan infrastruktur (sewa atau beli rumah? mobil, laptop, internet, mesin cuci, dll), itu semua harus direncanakan pengadaannya dan di-maintenance.

Belum lagi urusan pendidikan, baik formal maupun nonformal, bagi diri kita, pasangan kita, dan anak kita–tumbuh kembangnya, lingkungan pertemanannya, lingkungan sekitarnya (polusi? aman dari kejahatan? dll), dan banyak lagi. Variabelnya kompleks.

Belum lagi urusan hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan tetangga, hubungan dengan keluarga besar. Tidak bisa di-outsource.

Semua kompleksitas itu harus kita handle dengan dua kepala saja, kepala kita dan pasangan kita. Ini seperti punya perusahaan yang manajemennya cuma dua, lalu dua orang ini punya titel CEO, CFO, COO, CHRO, PR, dan berbagai peran lain secara horizontal dan vertikal.

Gimana tuh? Susah ngga?

Susah, kalau kita mau mengelola keluarga secara mindful, intensional, diniatin.

Gampang, kalau kita mau mengelola keluarga secara que sera sera, whatever will be will be, jadi apapun juga tidak peduli, tahu-tahu tua dan wafat.

Ketiga, bagaimana perusahaan berekspansi.

Suatu perusahaan bisa berekspansi jika model bisnis dasarnya sudah proven. Idealnya sih sudah profitable, walaupun dengan lahirnya tech startup kita melihat realitas lain (emang para unicorn itu udah profitable?).

Mereka sudah tidak struggle dengan urusan dasar lagi (highlight this, ini bottom line-nya). Mereka sibuk delivering more and more values untuk para pelanggan dan para pelanggan potensial. 

Contohnya Google (kalau yang ini sih udah profitable). Saking banyaknya duit dia, dia punya ruang yang sangat besar untuk melakukan berbagai eksperimen yang secara bisnis ngga jelas apakah akan mendatangkan keuntungan bagi perusahaan atau tidak. Disposable money, burn-able money.

Kalau eksperimennya gagal yowes, move on. Kalau berhasil ya bagus, bisa jadi sesuatu. Misalnya, mereka bikin autonomous car yang mungkin baru kerasa manfaatnya 20 tahun mendatang, atau mungkin ada yang masih inget Google Glass (yang nampaknya muncul terlalu dini), atau Google Loon yang menyediakan akses internet di area rural pake balon udara.

Kalau kita bawa ke konteks keluarga, ini adalah keluarga yang udah deliver values to the people outside their family. Entah mereka bikin buku yang mengubah hidup orang, atau bikin workshop mengenal tujuan hidup kayak temen saya, atau membuat lapangan pekerjaan buat warga sekitar, dan lainnya.

Apakah mereka sudah selesai dengan berbagai urusan mendasar? Ini pertanyaan yang tricky. Memangnya kapan urusan mendasar bisa dikatakan selesai? Sulit menjawabnya.

Pendapat saya adalah apapun kondisi “urusan mendasar” mereka, mereka sudah mampu memfokuskan perhatian dan energi mereka pada hal-hal di luar urusan mendasar itu (baca lagi bottom line di atas).

Mungkin secara materil uangnya ngga banyak. Mungkin uang kamu lebih banyak malah. Tapi mereka ngga ambil pusing dan ngga terlalu fokus di situ karena somehow mereka merasa aspek itu cukup lah.

Mungkin secara infrastruktur ngga sememadai infrastruktur kamu. Mungkin kamu ngga akan betah tinggal di rumah mereka. Tapi bagi mereka itu cukup, “let’s put our attention on something else”.

Kesimpulan.

Mungkin banyak dari kita yang mulai menjalani kehidupan keluarga secara business as usual. Berpindah dari satu gajian ke gajian lain, dari satu “pengen beli ini” ke “pengen beli ini” yang lain. Seriously, do you want to live your life like that forever?

Mungkin banyak juga dari kita yang lebih excited mengurusi pekerjaan di kantor, di kampus, atau di manapun tempat kita berkarya/mengabdi. Urusan rumah kita anggap membosankan, kurang menantang, tidak perlu mengeluarkan upaya terbaik kita (diajak ngobrol soal rumah sama pasangan, dalam hati kita “Apasih?”, “Yaudah nih uang biar cepet”). Padahal bahkan seorang CEO belum tentu bisa mengelola rumah tangganya sendiri sebaik ia mengelola perusahaannya (so probably it’s not as easy-boring as it seems).

Mungkin juga banyak dari kita yang menengok rumput tetangga via Instagram lalu muncul desiran “ingin seperti keluarga X tapi apalah daya takdirku begini”, lalu malah muncul penyakit hati iri dengki dan kawan-kawannya. Atau malah kita tidak mau kalah lalu berusaha mengimpresi orang-orang tentang keluarga kita, lalu kita menjadi budak citra, likes, dan pujian. Menderita ngga sih?

Mungkin dimulai dengan perspektif yang tepat, institusi yang namanya keluarga ini bisa jadi sarana aktualisasi diri kita yang utama. Mungkin dia bisa menjadi dongkrak atau bahkan rocketship bagi kita untuk jadi seseorang yang signifikan hidupnya.

2 years ago
Fatimah Merupakan Wanita Pilihan, Ummu Abiha (ibu Bagi Ayahnya), Putri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi

Fatimah merupakan wanita pilihan, Ummu Abiha (ibu bagi ayahnya), putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Al-Qurasyiyah, Al-Hasyimiyah, dan Ummu Al-Husain. Ia dilahirkan saat sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diutus sebagai Nabi.

Fatimah dengan Ali bin Abi Thalib dinikahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada bulan Dzulqa’dah, dua tahun setelah perang Badar.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sangat mencintai dan memuliakan Fatimah. Fatimah merupakan sosok perempuan yang sabar, baik hati, menjaga diri, menerima, dan bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Suatu kali Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah marah kepada Ali ketika sampai padanya berita bahwa Ali ingin menikahi putri Abu Jahal. Ketika itu beliau bersabda, “Demi Allah, putri Nabiyullah tidak boleh dicampur dengan putri musuh Allah. Sesungguhnya Fatimah merupakan bagian dariku. Sesuatu yang meragukanku berarti meragukannya dan sesuatu yang menyakitiku berarti menyakitinya.”

Aisyah ra. berkata, “Jika Fatimah datang sambil berjalan, gaya jalannya terlihat sama dengan gaya berjalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu beliau berdiri seraya berkata, ‘Selamat datang wahai putriku!’.”

Aisyah ra. juga berkata, “Aku tidak pernah melihat seorang pun yang perkataan dan pembicaraannya menyerupai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selain Fatimah, dan jika Fatimah menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau berdiri lalu menciumnya dan memanjakan dirinya. Begitu juga Fatimah memperlakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.”

Diriwayatkan dari Asy-Sya’bi, dia berkata, “Ketika Fatimah sakit, Abu Bakar datang lalu meminta izin. Ali lantas berkata, ‘Wahai Fatimah, ini ada Abu Bakar meminta izin menemui dirimu.’ Fatimah berkata, ‘Apakah kamu ingin aku mengizinkannya?’ Ali menjawab, ‘Ya’.”

Menurut aku (Asy-Sya’bi) dia ketika itu mempraktekkan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak mengizinkan seorang pun masuk rumah suaminya kecuali atas izin suaminya.

Fatimah mempunyai dua orang putra, yaitu Hasan dan Husain, sehingga ia mendapat julukan Ummu Al-Husain. Ia juga mempunyai dua orang putri, yaitu Ummu Kultsum (istri Umar bin Khattab) dan Zainab (istri Abdullah bin Ja’far bin Abu Thalib).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Fatimah ketika beliau sakit, “Sesungguhnya aku akan meninggal karena sakitku ini.” Mendengar itu, Fatimah menangis. Namun beliau menenangkan dirinya dengan memberitahukan bahwa dia adalah keluarga Rasulullah yang pertama kali bertemu dengan beliau.

Ketika itu dia adalah pemimpin wanita dunia ini. Dia pun menerima dan menyembunyikannya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah wafat, Aisyah bertanya kepadanya, lalu dia bercerita kepadanya tentang berita itu. Aisyah berkata, “Fatimah hidup selama enam bulan setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam wafat. Kemudian dia dimakamkan pada malam hari.”

Frasa: Perempuan, Ilmu, dan Rasa

8 months ago

Aku mulai ngerti, kenapa Rasulullah nggak over-reacting saat orang-orang yang menyebabkan traumanya terus menerus melakukan hal-hal yang men-trigger "alarm" emosi itu. Jawabannya, kata Ust. Nouman Ali Khan, adalah tahajjud.

Ada banyak emosi yang terus menerus diarahkan kepada Rasulullah. Makian, kemarahan, perendahan harga diri, pembunuhan orang tersayang, tuduhan tidak benar, pemboikotan satu kaum, penganiayaan verbal dan fisik, serta perilaku biadab lainnya, nggak mungkin hal-hal kaya gitu nggak meninggalkan bekas trauma.

Aku, kalau jadi Rasulullah, kayanya nggak tahan untuk tetap diam. Kita sama-sama tahu, Rasulullah juga manusia, punya hati dan emosi untuk merasakan. Tapi kenapa, hal-hal traumatis itu nggak jadi penyakit hati? Nggak jadi bikin pengen balas dendam?

Rasulullah rutin me-release semua rasa sedih, rasa nggak terima, rasa pengen membalas, dan kemarahan itu dengan tahajjud. Beliau juga rutin membersihkan dirinya dari penyakit hati dengan istighfar. Beliau mampu menahan diri dari ledakan emosionalnya. "Alarmnya" nggak sesenggol bacok itu sebab ditahan oleh pemahaman yang baik tentang Allah dan manusia, dan hatinya tidak sempit karena ucapan-ucapan manusia.

"Tahajjud itu ibadahnya da'i dan orang-orang shalih."

Kenapa? Shalih artinya lurus, konsisten. Benar pikirannya, benar ucapannya, benar tindakannya. Ketiganya selaras dan sinkron, dan da'i memang seharusnya begitu. Mereka tidak akan mengucapkan apa yang tidak mereka perbuat.

Dan itu dimulai dengan tahajjud, yakni ibadah yang dilakukan di saat sendiri. Saat kita memang hanya ingin dilihat oleh Allah saja. Kalau udah jujur kepada Allah, artinya akan punya integritas untuk kemudian jujur dalam tindakan-tindakan yang akan dilihat manusia, sehingga meskipun tindakannya dilihat manusia, mereka tidak melakukannya untuk mengesankan manusia.

Maka diam itu benar-benar emas ketika hati ingin menjelaskan berlebihan hanya untuk membersihkan nama baik kita. Ketika kita mungkin ingin mengeluarkan muntahan emosional yang justru kadang malah merugikan martabat kita. Hanya orang-orang yang bertahajjud yang mampu tetap menahan diri dan memelihara kehormatannya saat satu dunia menyalahpahami dan mendzoliminya.

Diamlah, biarkan kekuasaan Allah yang bicara untuk meluruskan pemikiran dan ucapan orang lain yang bengkok. Diamlah, yang terpenting adalah kedudukanmu di hadapan Allah, bukan di hadapan manusia. Diamlah, manusia tidak menginginkan penjelasan darimu, tetapi Allah senantiasa menginginkan perbaikan darimu. Manusia mencemarkan nama baikmu sedangkan Allah selalu menjaga aib-aibmu.

— Giza, kali ini tolong lanjutkan perjalanan sambil hanya ingin dilihat Allah

drinkwatersoon - Jarang Mampir
Jarang Mampir

less is more

209 posts

Explore Tumblr Blog
Search Through Tumblr Tags