Assalamu 'alaikum, kak Yasir. Sy telah melakukan tindakan dan mengambil bbrp keputusan yg ternyata salah, dlm hidup sy selama 2 th terakhir menjalani pendidikan S2. Akhirnya sy jadi yg paling lambat progresnya dibanding tman kelas yg lain. Pdhl dulu, sy termasuk aktif di kelas. Sy minder banget dan merasa gagal krn blm mulai tesis smpai skrg. Perasaan ini malah bikin sy berusaha mencari pengalihan shingga progres sy tetap melambat. Mohon saran dan nasihatnya, kak. Trimakasih.
Wa’alaykumussalam Wr Wb.Maaf banget–kalau kamu masih baca blog ini, saya baru jawab sekarang. Ini pertanyaan udah lama banget. Mungkin kamu udah selesaikan S2 kamu saat ini.
Saya ingin berpendapat tentang ini karena barangkali ada temen-temen lain yang sekarang situasinya mirip dengan situasi kamu saat itu.
Apa yang kamu alamin sedikit banyak juga saya rasain meski dalam konteks dan kadar yang berbeda. Kalau saya konteksnya adalah karir. Saya akan berbagi hal yang saya lakukan yang kira-kira relevan untuk menghadapi situasi itu.
Pertama, berangkat dari kepercayaan bahwa kita ini ga buruk, ga bodoh. Kita perlu sadar bahwa kita punya kekuatan. Kalau bisa, coba telusuri bukti-bukti di masa lalu bahwa kita ini orang yang keren, prestatif, cerdas, atau atribut positif lainnya.
Hanya saja, situasi sekarang ga mendukung kita untuk menjadi versi terbaik diri kita. Entah itu karena keputusan-keputusan yang kita ambil maupun karena faktor eksternal.
Bukan mengajarkan untuk punya mental playing victim ya, cuma menurut saya sah jika kita ngerasa ada hal-hal di luar diri kita yang memengaruhi pikiran dan mental kita sehingga entah bagaimana kita jadi ga optimal. Justru, ini perlu kita identifikasi supaya kita ngerti apa yang terjadi.
Kedua, menurut saya ya, dalam situasi kayak gini kita perlu mengumpulkan banyak energi mental dan mengurangi saluran-saluran yang mengurasnya. Misalnya, kalau dengan break satu pekan kamu bisa ngerasa ke-recharge, so be it. Kalau dengan interaksi sama temen-temen kamu ngerasa terkuras, bilang aja bahwa kamu lagi perlu sendiri dan kurangi interaksi sama mereka.
Sesuatu yang sangat boleh menjadi egois ketika kondisi mental kita kurang sehat. Ini advice yang saya dapat waktu saya konsultasi ke psikolog.
Ketiga, kita perlu lingkungan yang suportif. Diantara cara menciptakannya ya kita mesti cerita situasi kita, ketakutan kita, ke orang-orang yang berurusan sama kita. Supervisor, peer, keluarga, dll. Ini berguna untuk menetapkan ekspektasi dari orang lain kepada diri kita, menghilangkan sebagian beban untuk tampil “sempurna” di mata mereka, sebagai bonus barangkali mendapatkan dukungan moral dari mereka.
Keempat, bikin milestone-milestone kecil dan belajar mengapresiasi diri kita sendiri. Coba bikin jurnal harian di mana kita mengapresiasi hal-hal positif yang terjadi hari itu. Ini membantu mengarahkan pikiran kita untuk fokus pada hal baik dan ngga tenggelam dengan pikiran negatif, karena seringkali kita tuh di mata orang baik-baik aja, tapi kita sendiri secara mental “memukuli” diri kita sendiri habis-habisan.
Dari situ, semoga bola salju positivitas bisa bergulir, makin besar dan makin kuat sehingga mengantarkan kamu kembali ke performa terbaik kamu.
aku jadi notice suatu hal.
kalau lagi sedih, kecewa atau overthinking, aku bakal buka tumblr dan nulis keluh kesahku disini.
berarti udah beberapa hari ini aku gak terbebani emosi negatif yang perlu di-release.
atau emosi negatif itu sebenarnya ada tapi aku mengabaikannya, atau bahkan aku teralihkan oleh hal lain.
dia. kehadiran dia mengalihkan duniaku dan membuatku fokus ke dia untuk sejenak.
hahahaha.
kuharap hatiku bisa berdamai setelah dengan jahat mencaci diriku sendiri.
kuharap tangisku meredakan sesak yang ada di dadaku.
karena dalam hidup ini, sekalipun ingin menyerah, aku masih ingin berjuang.
itu sebabnya, walau sakit, akan kutahan.
Apa itu self acceptance/ selesai dengan diri sendiri? Self-acceptance, atau penerimaan diri, adalah sikap menerima dan mengakui segala aspek dari diri sendiri, termasuk kekurangan, kekuatan, kelemahan, dan keunikan tanpa menghakimi atau merasa perlu mengubah diri untuk memenuhi ekspektasi orang lain. Beberapa poin yang menjelaskan konsep self-acceptance:
Menerima Diri Apa Adanya: Self-acceptance berarti menerima diri sendiri dengan segala kelebihan dan kekurangan. Ini termasuk menerima penampilan fisik, kepribadian, emosi, dan pengalaman hidup tanpa merasa malu atau bersalah.
Mengakui Kekurangan: Mengakui bahwa setiap orang memiliki kekurangan dan itu adalah bagian dari menjadi manusia. Self-acceptance berarti tidak merasa minder atau rendah diri karena kekurangan tersebut, melainkan menerima dan berusaha memperbaikinya dengan bijak.
Tidak Menghakimi Diri Sendiri: Berhenti menghakimi diri sendiri secara negatif atau keras. Seseorang yang menerima diri sendiri akan berbicara kepada dirinya sendiri dengan cara yang penuh kasih dan pengertian, sama seperti berbicara kepada teman baik.
Menghargai Diri Sendiri: Menghargai diri sendiri atas siapa diri kita, bukan hanya atas apa yang kita capai. Ini berarti menghargai nilai-nilai, prinsip, dan keberadaan diri sendiri.
Menerima Masa Lalu: Self-acceptance juga melibatkan menerima masa lalu, termasuk kesalahan dan kegagalan, sebagai bagian dari perjalanan hidup yang membentuk siapa kita saat ini.
Memiliki Pandangan Positif Tentang Diri: Membangun pandangan positif tentang diri sendiri, di mana seseorang melihat dirinya secara seimbang, menghargai kekuatan dan berkomitmen untuk memperbaiki kelemahan.
Mengurangi Perbandingan Sosial: Tidak terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain. Self-acceptance berarti memahami bahwa setiap orang unik dan perjalanan hidup masing-masing berbeda.
Ketenangan Batin: Dengan menerima diri sendiri, seseorang akan merasa lebih tenang dan damai secara batin, karena tidak lagi berjuang melawan diri sendiri atau mencoba menjadi orang lain.
Self-acceptance adalah dasar dari kesehatan mental dan emosional yang baik. Dengan menerima diri sendiri, seseorang bisa hidup lebih autentik, menjalani hidup dengan lebih bahagia, dan memiliki hubungan yang lebih baik dengan orang lain.
Tanda Seseorang Sudah Selesai Dengan Dirinya Sendiri Tanda seseorang sudah selesai dengan dirinya sendiri (self-acceptance) dapat terlihat dari berbagai aspek, antara lain:
Penerimaan Diri: Mereka menerima diri mereka sendiri dengan segala kekurangan dan kelebihan tanpa merasa perlu menyembunyikan atau mengubah siapa mereka untuk menyenangkan orang lain. Meski begitu, tetap butuh untuk instropeksi dan mengembangkan diri bagi perbaikan dan kebaikan.
Ketenangan Batin: Mereka memiliki ketenangan batin dan tidak mudah terganggu oleh kritik atau pendapat negatif dari orang lain.
Mandiri Emosional: Mereka tidak bergantung pada orang lain untuk merasa bahagia atau berharga. Kebahagiaan dan rasa harga diri mereka berasal dari dalam diri.
Tujuan Hidup yang Jelas: Mereka memiliki tujuan hidup yang jelas dan bekerja menuju tujuan tersebut tanpa merasa tertekan oleh ekspektasi eksternal.
Keberanian Mengambil Keputusan: Mereka berani mengambil keputusan yang sesuai dengan nilai dan keyakinan mereka, meskipun keputusan tersebut tidak populer atau didukung oleh orang lain.
Relasi yang Sehat: Mereka memiliki hubungan yang sehat dengan orang lain, dimana mereka bisa memberi dan menerima dengan tulus tanpa merasa terbebani.
Kepercayaan Diri: Mereka memiliki rasa percaya diri yang tinggi dan yakin akan kemampuan mereka dalam menghadapi tantangan hidup.
Tidak Membandingkan Diri dengan Orang Lain: Mereka tidak merasa perlu membandingkan diri mereka dengan orang lain dan fokus pada perjalanan hidup mereka sendiri.
Kemampuan Menghadapi Kegagalan: Mereka melihat kegagalan sebagai bagian dari proses belajar dan tumbuh, bukan sebagai cerminan dari nilai diri mereka.
Keseimbangan Hidup: Mereka mampu menjaga keseimbangan antara pekerjaan, keluarga, dan waktu untuk diri sendiri, serta mengelola stres dengan baik.
Jika seseorang menunjukkan tanda-tanda ini, bisa dikatakan bahwa mereka telah selesai dengan diri mereka sendiri dan mencapai tingkat kebahagiaan dan kepuasan hidup yang tinggi.
Buah dari rasa cinta itu rasanya menyenangkan
Karena alasan cinta, beberapa orang tidak memandang rintangan didepan, Melupakan jarak, berkorban lebih banyak, dan melupakan rasa sakitnya.
Aku terbiasa berpura-pura untu merasa baik-baik saja,terbiasa mencoba melawan rasa sakit itu sendiri. Melelahkan... aku mengira orang-orang yang aku cintai tak harus ikut merasa khawatir dan mencurahkan waktunya untukku. Tak harus ikut berperang denganku.
Tapi mereka... berkata " kami tidak apa-apa, ayo sama-sama berjuang "
Di peperangan ini, aku lelah dan aku sudah pasrah. Tapi melihat orang orang dicinta mengenggam erat, rasanya menyenangkan. Membuatku berusaha maju.
Update.
Okay itu hanya perasaan suka yang hanya numpang lewat saja 🤣 now udah biasa lagi 🥰🥰
suka dalam diam
menyukai dia secara diam-diam, hanya Allah dan aku yang tahu kalau aku punya perasaan seperti ini untuknya.
aku diam-diam penasaran tentangnya, tapi tidak bisa bertanya apapun perihal dia... Karena aku tidak ingin memperlihatkan perasaanku ini pada siapapun walau secuil kecil.
ketika ada yang sedang menceritakan dia, walau ekspresiku biasa saja tapi... di dalam lubuk hatiku aku antusias mendengarkannya.
dan ketika ada yang tiba-tiba menyebutkan namanya langsung di depanku, dengan terpaksa aku harus berkata "tidak mengenalnya"
biarkan.
biarkan aku terus menyukainya dalam diam seperti ini, hingga perasaan ini lebur dengan sendirinya.
karena mungkin saja, dia telah terikat dengan seseorang yang telah menjadi belahan hidupnya, menjadi tanggung jawabnya.
aku ingin perasaan yang tidak seharusnya hadir ini segera lenyap dan pergi. kumohon segera pergi.
semoga tidak ada lagi momen berpapasan secara kebetulan dengannya, tidak ada lagi pandangan mata yang bertemu satu sama lain, tidak ada lagi suaranya yang tertuju kepadaku.
N.
Hari ini jalan kaki jauh banget :)
Jadikan aku butuh tali untuk melengkapi bahan ajar les privat, kalau ke toko perjahitan cem victory kayaknya gak akan keburu karna bukanya jam 10 an, sedangkan jadwal les privat anaknya jam 10 juga. Jadilah pagi-pagi main kepasar Astana Anyar, siapa tau nemu tali sepatu yakan. Di pasar banyak jenis jajanan yang bikin ngiler, dan kue pukis jadi pilihanku untuk sarapan pagi ( kue pukisnya di keep dulu di tas, gak langsung dimakan ditempat ). Aku jalan sampai keujung tapi nihil, gak ada satupun yang jualan pertalian gitu. Tiba-tiba muncul ide untuk nyari ke Tegal Lega, aku memutuskan untuk mencoba rute baru yang belok ke arah kopo...harusnya sih lewat jalan astana anyar yang udah pasti tau arahnya aja, tapi gatau tadi sok-sokan pengen berpetualangan aja hehe. Oke, perjalanan dimulai dengan modal jalan kaki saja. Semakin menjauh dari pasar, dan aku hanya mengikuti instingku saja. Disini aku nyesel banget gak bawa handphone, setidaknya google map bisa spill rute dan posisi aku sekarang ada dimana, ditambah jadi was was juga karena ngerasa ngabisin waktu dijalan. Aku bener² ngerasa udah capek jalan dan masih belum tau posisiku disebelah mana wkwkwk, udah kayak anak ilang dan kesasar, tapi aku sih cuek aja. Daaan betapa bangganya aku setelah sejauh itu akhirnya aku bertemu dengan patung 3 harimau putih yang menandakan aku sudah sampai di tegal lega. MaasyaAllaah.
Di tegal lega, berjejeran penjual baju thrifted ( atau baju bekas import ). Beberapa kali tergoda ingin belok ke lapak thrifted, tapi fokusin tujuan lagi untuk nyari tali sepatu karena aku berburu dengan waktu. Alhamdulillaah, kayak nemu harta karun akhirnya nemu juga yg jualan tali sepatu 🤭
Setelah membeli tali sepatu tersebut, aku melipir dulu ke tempat duduk, melepas penat berjalan kaki dan menikmati kue pukis yang tadi kubeli di pasar. Dengan mata awas aku memperhatikan orang sekitar, jangan sampai ketemu sama orang yang aku kenal deh...kalau iya bakal malu bangeeet, kalau orang yang gak dikenal ya cuek bebek aja hehe.
Banyak banget kenangan di tegal lega ini, aku lebih sering main kesini sendirian :). Beberapa kali main bareng teh Mela, Dzah Maya, dan teh Vio... tapi ternyata aku lebih sering main sendiri karena aku lebih nyaman sendiri.
Makasih Tegal Lega untuk hari ini.
Yaa Rabb, jemputlah aku disaat aku dalam keadaan mencintaimu sedalam-dalamnya..
i'm here, di dalam bus primajasa jurusan Bandung - bandara soekarno hatta. penerbanganku pada pukul 1 dini hari. Semoga aku tiba tepat waktu.
ada satu momen manis yg ingin kukenang pada hari. Teh Lia terlihat surprised dengan koper besarku. Kata Teh Lia, dia tidak pernah bepergian jauh, jadi dia tidak tau bagaimana rasanya berpergian dengan membawa koper.
"Duh, kamu mau mudik aja udah bikin sedih, gimana kalau kamu pindahan. Teteh bakal sedih banget"
aku terharu mendengar cuitan teh Lia yang terasa tulus sampai ke hati. Aku selalu percaya hati selalu berhubungan dengan hati. Jika tulus, langsung terasa aja gitu.
padahal beberapa hari yang lalu, sambil memaksakan diri untuk menikmati small walking menuju angkot, aku sudah merencanakannya. Aku pikir keputusanku sudah bulat untuk pindah ke kosan yang lebih dekat dengan tempat kerjaku. Walau telah berusaha untuk memikirkan dampak positif dari berjalan jauh dengan beban tas laptop di punggung hanya untuk meraih angkot, pada akhirnya aku tetap saja mengeluh. Kenapa makin hari tempat ngetem angkot tambah jauh? kenapa makin hari ngetemnya semakin tidak berperikemanusiaan? sibuk sekali aku membandingkan perilaku angkot bandung dengan yang ada di jakarta, bahkan dengan daerah asalku. hanya di kota Bandung aku merasakan kekesalan tingkat tinggi karena menunggu angkot ngetem. apalagi 20 menitku yang sebelumnya habis hanya untuk berjalan menuju angkot.
aku sudah menandai calon kosanku yang baru. Setelah lebaran apa aku bisa pindah?
tapi pemikiran itu musnah, manakala mengingat kebaikan-kebaikan dan ketulusan teh Lia. Bagiku teh Lia bukan hanya penjaga kosan pa Masri, beliau lebih dari keluarga di tanah rantau yang sepi nan sendu ini.
makasih teh Lia.
Ahad, 03 April 2022
Alhamdulillah, puasa hari ini berjalan lancar. Menu sahur tadi cukup sederhana, yaitu nasi, sayur sop, tahu goreng dan telur goreng. Sahur perdanaku di bulan ramadan versi 1443 ditemani teh Afi, kami makan bersama di kamar nomor 9 alias di kamarku. Aku sangat senang karena tidak merasa kesepian di hari pertama berpuasa.
Ramadan makin hilang semaraknya. Ada setitik sedih saat menyadari hal ini. Aku tentu senang dengan kedatangan ramadan, hanya saja suasana hangatnya kian meredup. Apalagi sahur pertama sama sekali tidak ada calling dari rumah. Biasanya mama akan sibuk membangunkan anak-anaknya yang sedang berada di perantauan seperti aku. Sempat merasa terlupakan, namun aku berpositif thinking mungkin saja orang rumah sudah sangat yakin kalau aku akan bangun sahur tepat waktu kali ini.
Rindu roomchat yang dihiasi panggilan masuk dari mama. Maafkan Aku yang dulu tidak sigap mengangkat telepon dari mama :(. Ini saat ramadan tahun 2020, Alhamdulillah pada ramadan tahun kemarin (2021) aku berkesempatan berpuasa di rumah bersama mama dan keluarga lainnya.
Selepas salat subuh aku menelpon mama. Kata mama subuh tadi beliau sibuk memasak. Beliau ternyata tidak melupakanku begitu saja. Mama sudah mengingatkan kepada kakakku untuk menelponku, tapi kakak menundanya karena zona waktu di daerahku masih terlalu dini untuk bangun sahur.
Aku sangat senang karena berbicara banyak hal dengan mama lepas subuh tadi. Pandanganku tidak lepas pada video conference yang menampilkan gambar mama di seberang sana. Beliau sebelumnya sedang tadarus sehingga masih berbalut mukenah. Oiya disana matahari sudah terbit, sedangkan di tempatku masih gelap. Aku rindu sekali dengan mama, beliau alasan terbesar yang membuatku selalu galau untuk kembali ke pangkuannya.
Katanya mama sudah tidak bisa lepas dari obat penurun darah tinggi. Usia mama sudah mendekati 60 tahun. Mama semakin tua, wajahnya semakin keriput. Ma, apa aku pulang saja untuk merawat mama? Aku sedih ma saat memikirkanmu. Semoga mama selalu dalam lindungan Allah, semoga mama selalu dalam keadaan sehat. Jika mama bahagia, maka aku juga bahagia ma.
Setelah menutup telepon, aku merasa sangat mengantuk, tapi aku menunggu matahari terbit dulu, rasanya tidak baik melewatkan waktu subuh dalam keadaan tidur.
Sekitar satu jam aku tidur pagi, saat bangun kembali aku langsung mencuci baju dan mandi. Pukul 14.00 aku tidur siang (kebanyakan tidur hari ini huhu).
Saat bangun, aku melihat penampakan sekitar kamarku. Apa ini? kenapa aku ada disini? sendiri tanpa siapa-siapa. di kota yang jaraknya sangat jauh dari rumah, kenapa? :((
Rasanya seperti mimpi berada di kota rantau saat ini. Aku menangis tanpa air mata. Aku ingin pulang. Tetapi kenapa aku masih saja bimbang? Insya Allah aku akan pulang, semoga saat aku pulang aku sudah dalam keadaan siap. Karena kalau sekarang, aku takut hanya akan menjadi beban untuk rumah. Setidaknya saat ini aku dapat mengurus dan membiayai diriku sendiri.
Selama hampir setahun, kegalauan ingin pulang ini mengusikku. Sampai saudaraku lelah mendengar keputusanku yang plinplan dan belum final. Tidak semua keinginanku harus aku penuhi saat ini juga. Tapi jujur aku takut kehilangan momen bersama keluarga, sekaligus takut jika bersama mereka aku hanya akan merepotkan, tapi bukankah akan selalu ada jalan? dimanapun aku berada pasti Allah sudah menjatahkan rezeki, tapi bagaimana jika tidak sesuai dengan yang diharapkan? dunia tidak seindah dan sesederhana bermimpi. Di kota rantau ini aku merasa kesepian, aku butuh bersama mereka, keluargaku.
banyak tapinya kan aku ini? ribet sekali ya aku? apa aku banyak mau?
Ya Allah.
Disclaimer: ini bukan tulisan edukasi tentang konsep takwa. Ini sepenuhnya refleksi pribadi saya. Tidak disarankan untuk menjadikannya referensi. Mohon diproses dengan pikiran sendiri, tidak ditelan bulat-bulat. Jika tergelitik, silakan lakukan penelitian dan perenungan sendiri.
* * *
Pasti kita udah sering denger terminologi “takwa”.
Kalau ditanya apa itu takwa, kebanyakan orang akan menjawab: “Menaati segala perintah-Nya, menjauhi segala larangan-Nya.”
Saya ngga pernah puas dengan definisi itu. Maaf ya, izinkan saya jujur secara brutal, definisi itu normatif dan ngga inspiring. Ngga menggugah selera untuk bersemangat mendapatkannya. (Pahami bahwa saya bukan bilang takwa itu ngga menarik, tapi pemaknaan/penafsiran kita atas konsep takwa yang belum memuaskan).
Iya, menurut saya, kalau sesuatu itu penting menurut sunnatullah (atau hukum alam, versi bahasa universalnya), maka secara alamiah pasti kita akan tertarik ke arah sana. Maka, saya curiga, jangan-jangan ada definisi yang lebih dalam, lebih menggugah, lebih membuka kesadaran daripada yang diajarkan di sekolah-sekolah.
Misalnya, siapa sih orang waras, berakal yang dalam hidupnya ngga pernah bertanya “Kenapa aku ada?”, “Untuk apa aku ada?”, “Apa yang penciptaku inginkan dengan menciptakan aku ke alam ini?”. Saya percaya ini pertanyaan yang universal, yang kalaupun ngga diajarkan di sekolah, secara alamiah kita akan mempertanyakan ini, cepat atau lambat.
Pertanyaan-pertanyaan itu penting. Mereka akan mendorong kita mencari Tuhan, memahami diri kita, mencari petunjuk dari Sang Pencipta–yang semua jawabannya sudah dipersiapkan oleh Allah untuk kita temukan. Karena itu, Allah sudah tanamkan stimulusnya berupa rasa penasaran yang instingtif. Kita tertarik untuk mengenali pencipta kita secara alamiah.
Nah, takwa itu disebutkan di berbagai ayat Al-Quran, menjadi tujuan dari berbagai perintah–yang salah satunya puasa di bulan Ramadhan, maka pastinya penting. Kalau penting, pastinya insting alamiah kita akan bereaksi secara positif (tergugah, terinspirasi) jika kita memahaminya dengan cara yang seharusnya.
Singkat cerita, saya menemukan definisi takwa yang memuaskan bagi hati saya. Saya menemukannya dalam tafsir Al-Quran “The Message of the Quran” karya Muhammad Asad. Definisinya:
Kesadaran akan kemahahadiran-Nya dan keinginan seseorang untuk membentuk eksistensinya berdasarkan kesadaran ini.
Atau sederhananya, takwa adalah “kesadaran akan hadirnya Allah”.
Buat saya, definisi ini lebih memuaskan daripada yang selama ini saya terima. Coba kita tempatkan kedua definisi takwa dalam konteks perintah puasa Ramadhan.
Dalam definisi takwa pertama, kita diwajibkan berpuasa dengan tujuan menaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Dalam definisi takwa kedua, kita diwajibkan berpuasa dengan tujuan agar kita selalu sadar akan kehadiran Allah.
Kita tempatkan juga kedua definisi takwa itu dalam konteks ayat permulaan Al-Baqarah.
Dalam definisi pertama, Al-Quran adalah petunjuk bagi orang-orang yang menaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, yang menginfakkan sebagian rezeki yang Allah berikan.
Dalam definisi kedua, Al-Quran adalah petunjuk bagi orang-orang yang sadar akan kehadiran Allah. Yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, yang menginfakkan sebagian rezeki yang Allah berikan.
Gimana?
Apa lebih bisa dipahami? Apa lebih membuka kesadaran? Apa lebih menggugah? Kalau buat saya, iya banget.
Ketika berpuasa, kita bisa aja minum atau ngemil di siang hari, selama ngga ada manusia yang liat. Tapi yang menahan diri kita apa? Kesadaran akan hadirnya Allah, yang mungkin ngga begitu kita ingat kalau kita ngga puasa.
Ketika berbuka, kita seneng banget tuh, kita berdoa sebelum berbuka, “Ya Allah, terimalah puasaku dan segala amal ibadahku hari ini”. Lagi-lagi, kita distimulasi untuk menghadirkan kesadaran bahwa apa yang kita lakukan ini disaksikan oleh Allah.
Dari situ, sebenarnya kita bisa lihat bahwa menaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya (khususnya shaum Ramadhan) adalah stimulan untuk membangun kesadaran akan kehadiran Allah.
Dengan syarat, ketaatan dalam perintah dan larangan-Nya dilakukan dengan benar ya: kalau shalat khusyu’, kalau puasa ikhlas (mindful, aware, niat dari dalam hati), kalau sedekah bukan untuk ngebuang recehan.
Sebaliknya, kesadaran akan kehadiran Allah juga akan memperkuat kemampuan seseorang untuk menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya (”Oke, mau menghadap Allah nih, masa aku shalat pake baju bekas bobo?”). Jadi, saya pikir ini seperti continuous feedback loop.
Oke, meskipun ini perenungan pribadi, karena ini dipublikasikan maka saya tetap harus bertanggung jawab menutupnya dengan baik.
“Mengasah kesadaran akan kehadiran Allah” adalah closing yang berat, tapi paling engga saya bisa bagikan beberapa usaha saya untuk melatihnya.
Pertama, bangun mental model hubungan antara kita dan Allah yang lebih personal. Alih-alih berpikir bahwa kita cuma satu makhluk yang ngga signifikan dan mungkin ngga Allah pedulikan karena Dia “sibuk” dengan alam semesta dan manusia lain yang istimewa, ingat bahwa Allah juga Maha Dekat, Maha Tahu, Maha Mendengar, Maha Menyayangi, Maha Memperhatikan sehingga kamu bisa berkomunikasi secara personal dengan Allah.
Dia tidak seperti manusia yang kalau banyak kerjaan pusing dan skip, Dia menunggu kamu untuk datang kepada-Nya. Berkomunikasi, berterima kasih, meminta maaf, berharap, menangis.
Ingat juga bahwa Dia available setiap waktu, ngga cuma di waktu shalat–misalnya. Lagi kerja, lagi ngasuh anak, lagi beberes rumah; lagi senang, lagi marah, lagi sedih; kamu bisa berkomunikasi dengan Allah tentang hal seremeh apapun.
Kedua, pahami bacaan dan doa-doa dalam ibadah. Iya, misalnya bacaan shalat, coba dipahami. Caranya jangan cuma baca artinya secara keseluruhan, tapi pelajari kata per kata.
“Rabbi”–wahai Tuhanku, “ighfirli”–ampuni dosaku, “warhamni”–sayangi aku, “wajburni”–cukupilah aku, “warfa’ni”–tinggikan derajatku, “warzuqni”–berilah aku rezeki, “wahdini”–berilah aku petunjuk, “wa’afini”–sehatkan aku, “wa’fu’anni”–maafkanlah aku.
Bisa pelajari juga akar katanya, misal “ighfirli” dari kata “ghafara”, yang artinya “mengampuni”, asal maknanya “menutup”. Wah ini bisa didalami lebih jauh lagi, silakan cari sendiri ya.
Sedikit belajar Bahasa Arab, biar setiap kita mengucapkan doa dalam shalat, hati kita tahu betul kita sedang berkomunikasi apa dengan Allah. Biar setiap beristighfar, bertasbih, bertahmid, hati kita benar-benar mean it.
Ketiga, sering-sering mikirin what this life is all about. Bayangin setelah membaca ini kamu terkena serangan jantung lalu meninggal, kamu ngerasa siap apa engga? Kalau engga, kenapa? Karena ngga ada amal yang bisa dibanggakan? Kalau gitu itu PR kamu, segera bikin amal yang bisa kamu banggakan saat dihisab nanti.
Atau karena banyak dosa? PR kamu adalah taubat + mengubur dosa-dosa dengan amal baik yang banyak.
Kalau ingat bahwa kita belum siap dihitung amal dan dosanya di hadapan Allah, kita jadi bisa melihat apakah karir, bisnis, investasi yang kita upayakan itu adalah sarana mempersiapkan diri atau menjadi distraksi dari apa yang benar-benar penting.
Coba bikin daftar yang harus kamu siapkan agar jika suatu hari kamu terbaring di rumah sakit, sadar ga lama lagi kamu akan mati, hati kamu ngerasa tenang dan siap menghadap Allah, seperti yang dideskripsikan di Al-Fajr:
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku.”
Misalnya, jika profil kamu adalah seorang ayah dan suami:
1. Sedekah rutin untuk anak yatim (misalnya ini amal andalan kamu) 2. Istri dan anak yang siap ditinggalkan secara mental dan bertekad untuk menyusul saya di surga (melanjutkan berbagai amal sholeh sepeninggal kamu) 3. Rumah untuk anak dan istri biar mereka punya tempat bernaung 4. Passive income untuk menafkahi keluarga meski saya ngga ada, biar mereka ngga susah dan menyusahkan orang lain (3 dan 4 sekilas materialistis, tapi tujuannya bernilai amal sholeh)
Itu daftar simplistik dan contoh aja.
Poinnya adalah sering-sering melatih diri kita mengingat apa yang paling esensial dalam hidup (yaitu siap ketika sudah saatnya kita menghadap Allah) dan mengkalibrasi terus menerus kesibukan kita supaya selalu dalam kerangka membuat Allah ridha sama kita.
So, mari kita membangun, mengasah, dan menjaga kesadaran kita akan ke-Maha-Hadiran Allah.
Wallahu’alam.