Disclaimer: ini bukan tulisan edukasi tentang konsep takwa. Ini sepenuhnya refleksi pribadi saya. Tidak disarankan untuk menjadikannya referensi. Mohon diproses dengan pikiran sendiri, tidak ditelan bulat-bulat. Jika tergelitik, silakan lakukan penelitian dan perenungan sendiri.
* * *
Pasti kita udah sering denger terminologi “takwa”.
Kalau ditanya apa itu takwa, kebanyakan orang akan menjawab: “Menaati segala perintah-Nya, menjauhi segala larangan-Nya.”
Saya ngga pernah puas dengan definisi itu. Maaf ya, izinkan saya jujur secara brutal, definisi itu normatif dan ngga inspiring. Ngga menggugah selera untuk bersemangat mendapatkannya. (Pahami bahwa saya bukan bilang takwa itu ngga menarik, tapi pemaknaan/penafsiran kita atas konsep takwa yang belum memuaskan).
Iya, menurut saya, kalau sesuatu itu penting menurut sunnatullah (atau hukum alam, versi bahasa universalnya), maka secara alamiah pasti kita akan tertarik ke arah sana. Maka, saya curiga, jangan-jangan ada definisi yang lebih dalam, lebih menggugah, lebih membuka kesadaran daripada yang diajarkan di sekolah-sekolah.
Misalnya, siapa sih orang waras, berakal yang dalam hidupnya ngga pernah bertanya “Kenapa aku ada?”, “Untuk apa aku ada?”, “Apa yang penciptaku inginkan dengan menciptakan aku ke alam ini?”. Saya percaya ini pertanyaan yang universal, yang kalaupun ngga diajarkan di sekolah, secara alamiah kita akan mempertanyakan ini, cepat atau lambat.
Pertanyaan-pertanyaan itu penting. Mereka akan mendorong kita mencari Tuhan, memahami diri kita, mencari petunjuk dari Sang Pencipta–yang semua jawabannya sudah dipersiapkan oleh Allah untuk kita temukan. Karena itu, Allah sudah tanamkan stimulusnya berupa rasa penasaran yang instingtif. Kita tertarik untuk mengenali pencipta kita secara alamiah.
Nah, takwa itu disebutkan di berbagai ayat Al-Quran, menjadi tujuan dari berbagai perintah–yang salah satunya puasa di bulan Ramadhan, maka pastinya penting. Kalau penting, pastinya insting alamiah kita akan bereaksi secara positif (tergugah, terinspirasi) jika kita memahaminya dengan cara yang seharusnya.
Singkat cerita, saya menemukan definisi takwa yang memuaskan bagi hati saya. Saya menemukannya dalam tafsir Al-Quran “The Message of the Quran” karya Muhammad Asad. Definisinya:
Kesadaran akan kemahahadiran-Nya dan keinginan seseorang untuk membentuk eksistensinya berdasarkan kesadaran ini.
Atau sederhananya, takwa adalah “kesadaran akan hadirnya Allah”.
Buat saya, definisi ini lebih memuaskan daripada yang selama ini saya terima. Coba kita tempatkan kedua definisi takwa dalam konteks perintah puasa Ramadhan.
Dalam definisi takwa pertama, kita diwajibkan berpuasa dengan tujuan menaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Dalam definisi takwa kedua, kita diwajibkan berpuasa dengan tujuan agar kita selalu sadar akan kehadiran Allah.
Kita tempatkan juga kedua definisi takwa itu dalam konteks ayat permulaan Al-Baqarah.
Dalam definisi pertama, Al-Quran adalah petunjuk bagi orang-orang yang menaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, yang menginfakkan sebagian rezeki yang Allah berikan.
Dalam definisi kedua, Al-Quran adalah petunjuk bagi orang-orang yang sadar akan kehadiran Allah. Yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, yang menginfakkan sebagian rezeki yang Allah berikan.
Gimana?
Apa lebih bisa dipahami? Apa lebih membuka kesadaran? Apa lebih menggugah? Kalau buat saya, iya banget.
Ketika berpuasa, kita bisa aja minum atau ngemil di siang hari, selama ngga ada manusia yang liat. Tapi yang menahan diri kita apa? Kesadaran akan hadirnya Allah, yang mungkin ngga begitu kita ingat kalau kita ngga puasa.
Ketika berbuka, kita seneng banget tuh, kita berdoa sebelum berbuka, “Ya Allah, terimalah puasaku dan segala amal ibadahku hari ini”. Lagi-lagi, kita distimulasi untuk menghadirkan kesadaran bahwa apa yang kita lakukan ini disaksikan oleh Allah.
Dari situ, sebenarnya kita bisa lihat bahwa menaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya (khususnya shaum Ramadhan) adalah stimulan untuk membangun kesadaran akan kehadiran Allah.
Dengan syarat, ketaatan dalam perintah dan larangan-Nya dilakukan dengan benar ya: kalau shalat khusyu’, kalau puasa ikhlas (mindful, aware, niat dari dalam hati), kalau sedekah bukan untuk ngebuang recehan.
Sebaliknya, kesadaran akan kehadiran Allah juga akan memperkuat kemampuan seseorang untuk menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya (”Oke, mau menghadap Allah nih, masa aku shalat pake baju bekas bobo?”). Jadi, saya pikir ini seperti continuous feedback loop.
Oke, meskipun ini perenungan pribadi, karena ini dipublikasikan maka saya tetap harus bertanggung jawab menutupnya dengan baik.
“Mengasah kesadaran akan kehadiran Allah” adalah closing yang berat, tapi paling engga saya bisa bagikan beberapa usaha saya untuk melatihnya.
Pertama, bangun mental model hubungan antara kita dan Allah yang lebih personal. Alih-alih berpikir bahwa kita cuma satu makhluk yang ngga signifikan dan mungkin ngga Allah pedulikan karena Dia “sibuk” dengan alam semesta dan manusia lain yang istimewa, ingat bahwa Allah juga Maha Dekat, Maha Tahu, Maha Mendengar, Maha Menyayangi, Maha Memperhatikan sehingga kamu bisa berkomunikasi secara personal dengan Allah.
Dia tidak seperti manusia yang kalau banyak kerjaan pusing dan skip, Dia menunggu kamu untuk datang kepada-Nya. Berkomunikasi, berterima kasih, meminta maaf, berharap, menangis.
Ingat juga bahwa Dia available setiap waktu, ngga cuma di waktu shalat–misalnya. Lagi kerja, lagi ngasuh anak, lagi beberes rumah; lagi senang, lagi marah, lagi sedih; kamu bisa berkomunikasi dengan Allah tentang hal seremeh apapun.
Kedua, pahami bacaan dan doa-doa dalam ibadah. Iya, misalnya bacaan shalat, coba dipahami. Caranya jangan cuma baca artinya secara keseluruhan, tapi pelajari kata per kata.
“Rabbi”–wahai Tuhanku, “ighfirli”–ampuni dosaku, “warhamni”–sayangi aku, “wajburni”–cukupilah aku, “warfa’ni”–tinggikan derajatku, “warzuqni”–berilah aku rezeki, “wahdini”–berilah aku petunjuk, “wa’afini”–sehatkan aku, “wa’fu’anni”–maafkanlah aku.
Bisa pelajari juga akar katanya, misal “ighfirli” dari kata “ghafara”, yang artinya “mengampuni”, asal maknanya “menutup”. Wah ini bisa didalami lebih jauh lagi, silakan cari sendiri ya.
Sedikit belajar Bahasa Arab, biar setiap kita mengucapkan doa dalam shalat, hati kita tahu betul kita sedang berkomunikasi apa dengan Allah. Biar setiap beristighfar, bertasbih, bertahmid, hati kita benar-benar mean it.
Ketiga, sering-sering mikirin what this life is all about. Bayangin setelah membaca ini kamu terkena serangan jantung lalu meninggal, kamu ngerasa siap apa engga? Kalau engga, kenapa? Karena ngga ada amal yang bisa dibanggakan? Kalau gitu itu PR kamu, segera bikin amal yang bisa kamu banggakan saat dihisab nanti.
Atau karena banyak dosa? PR kamu adalah taubat + mengubur dosa-dosa dengan amal baik yang banyak.
Kalau ingat bahwa kita belum siap dihitung amal dan dosanya di hadapan Allah, kita jadi bisa melihat apakah karir, bisnis, investasi yang kita upayakan itu adalah sarana mempersiapkan diri atau menjadi distraksi dari apa yang benar-benar penting.
Coba bikin daftar yang harus kamu siapkan agar jika suatu hari kamu terbaring di rumah sakit, sadar ga lama lagi kamu akan mati, hati kamu ngerasa tenang dan siap menghadap Allah, seperti yang dideskripsikan di Al-Fajr:
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku.”
Misalnya, jika profil kamu adalah seorang ayah dan suami:
1. Sedekah rutin untuk anak yatim (misalnya ini amal andalan kamu) 2. Istri dan anak yang siap ditinggalkan secara mental dan bertekad untuk menyusul saya di surga (melanjutkan berbagai amal sholeh sepeninggal kamu) 3. Rumah untuk anak dan istri biar mereka punya tempat bernaung 4. Passive income untuk menafkahi keluarga meski saya ngga ada, biar mereka ngga susah dan menyusahkan orang lain (3 dan 4 sekilas materialistis, tapi tujuannya bernilai amal sholeh)
Itu daftar simplistik dan contoh aja.
Poinnya adalah sering-sering melatih diri kita mengingat apa yang paling esensial dalam hidup (yaitu siap ketika sudah saatnya kita menghadap Allah) dan mengkalibrasi terus menerus kesibukan kita supaya selalu dalam kerangka membuat Allah ridha sama kita.
So, mari kita membangun, mengasah, dan menjaga kesadaran kita akan ke-Maha-Hadiran Allah.
Wallahu’alam.
🥀
sejarah nama akun ini
Dear Sisters,
Perempuan, sejak pertama kali Islam diturunkan mendapat kemuliaan dan kehormatan sama dengan laki laki. Islam hadir mengangkatnya dari derajat kehinaan yang dilakukan oleh sesama manusia, pada derajat yang sama dengan laki laki. Dalam islam yang membedakan derajat seseorang bukanlah jenis kelamin, kekayaan, atau pangkat maupun status, melainkan ketaqwaan.
Perempuan, sejak pertama kali Islam diturunkan memperoleh hak nya termasuk hak dalam akses pendidikan dan hak atas intelektualitasnya. Perempuan mengkaji dan mengakses dari sumber yang sama dengan laki laki. Sehingga tidak mengherankan bila muncul sosok sosok, tokoh tokoh muslimah yang karyanya melampaui zamannya.
Namun zaman berganti, hari ini ketika akses informasi terbuka lebar, ketika ilmu yang benar dan salah bercampur baur. Kita kesulitan memilah mana yang benar untuk dijadikan sebagai batu bata yang menguatkan fondasi berpikir dan keilmuan kita. Terlalu banyak perbedaan hingga tak tahu mana yang berbeda tapi sama sama benar, mana yang berbeda salah satunya salah dan satunya benar. Mana yang terkesan sama, namun ternyata berbeda dan menyimpang.
Maka dari itu, hadir untukmu para perempuan sebuah kelas yang di dalamnya kita akan membahas sejarah, karya, dan metode berpikir ulama dan cendekiawan muslimah. Membahas problematika perempuan. Kita juga akan membahas bagaimana konsep ilmu dan filsafat ilmu dalam islam serta bagaimana membangun kerangka keilmuan yang benar menurut Islam.
WOMEN SCHOLARS IN ISLAM
Membangun Pondasi Keilmuan Perempuan
📅 30 Januari - 21 Maret 2021
1 Sesi Studium Generale (Sabtu), 8 sesi pertemuan setiap Ahad
⏰ 07.30-09.30 WIB
🏡 Via app Zoom
Prof. Euis Sunarti
Guru Besar IPB Bidang Ketahanan dan Pemberdayaan Keluarga
Ketua GiGa Indonesia
Inisiator Koalisi Nasional Ketahanan Keluarga Indonesia
Dr. Dinar Dewi Kania
S3 Pendidikan Islam dan Pemikiran UIKA Bogor
Dosen Pascasarjana Trisakti dan STID Mohammad Natsir
Peneliti INSISTS
Direktur CGS (Center for Gender Studies)
Dr. Abas Mansur Tamam
Dosen Pascasarjana Pendidikan Islam UIKA Bogor
Dosen Pusat Studi Kajian Timur Tengah dan Islam Pascasarjana UI
Dr. Alwi Alatas
Master dan Doktoral History and Civilization,
International Islamic University Malaysia (IIUM),
Penulis buku Shalahuddin al-Ayyubi dan Perang Salib III serta 25 buku lainnya
Fahmi Aziz, Lc
Alumnus Ma'had Utsman bin Affan, LIPIA,
Alumnus Fakultas Dakwah dan Ushuluddin Universitas Islam Madinah
Peminat Ilmu Mantiq
Syarat Pendaftaran
• Follow Instagram dan Subscribe youtube frasa
• Membagikan Poster di IG story atau Status Whatsapp
• Membagikan Informasi ini ke 3 Grup Whatsapp
• Mengisi link pendaftaran dan membayar biaya komitmen
Pendaftaran bisa dilakukan di link berikut :
▶️ https://bit.ly/WomenScholars
Sebelum mendaftar, pastikan kamu telah membaca dan memahami tata tertib kelas yang tertera di buku panduan ya
Kurikulum dan Buku Panduan dapat di-download pada:
▶️ https://bit.ly/PanduanWSIFrasa
Biaya komitmen : Rp 100.000,- ke nomor rekening 0698202071 (BNI Syariah) a.n. Ulya Millatina Ralesty
📞CP: http://wa.me/6289530978691 (Risa)
_______
Frasa : Perempuan, Ilmu, dan Rasa
People change, that's TRUE
Penasaran, kalau suatu hari ditanya gini saya bisa jawab dengan baik ngga ya:
“Allah itu tercipta dari apa?”
Jawaban dari ini emang bersifat aksiomatik, artinya sebuah kebenaran yang “emang begitu adanya”, tinggal diterima.
“Allah tidak tercipta dari apa-apa, karena Allah tidak ada yang menciptakan. Allah ada tanpa diawali dan tidak akan pernah berakhir seperti manusia. Kalau sesuatu terbuat dari sebuah material dan ada yang menciptakan, berarti namanya makhluk, dan ngga pantas dianggap tuhan.
Yang pantas disebut tuhan itu adalah sesuatu saking hebatnya hingga mampu menciptakan apapun tanpa ada yang menciptakan dirinya sebelumnya. Kamu mau menyembah tuhan yang diciptakan oleh sesuatu yang lebih kuat darinya?”
Tapi, jawaban aksiomatik gitu akan sulit diterima bagi yang belum menjalani proses berpikirnya, apalagi untuk anak-anak. Makanya mungkin lebih baik kalau dijawab dengan ngajak mikir dulu.
Gini. Kalau kamu bikin robot, apa berarti kamu adalah tuhan karena menciptakan robot? Enggak? Kenapa? Karena kamu harus dibuat dulu lewat rahim Ibu kamu, terus dilahirkan ke dunia. Masa tuhan harus dibuat dulu, terus dilahirkan? Kalau begitu yang lebih berkuasa yang dilahirkan atau yang melahirkan?
Terus, apakah Ibu kamu adalah tuhan karena melahirkan kamu? Enggak? Kenapa? Karena Ibu kamu juga ada yang membuatnya lewat rahim nenek kamu, terus dilahirkan ke dunia juga.
Begitu terus, nenek kamu dilahirkan buyut kamu, sampai ke Nabi Adam. Terus, apa Nabi Adam adalah tuhan karena mengawali semua manusia? Enggak? Kenapa? Karena Nabi Adam juga ada yang menciptakan. Dia memperkenalkan dirinya dengan nama “Allah”.
Yang menciptakan Allah siapa? Engga ada. Udah mentok. Sang Pencipta Nabi Adam ada tanpa ada yang menciptakan dan ngga pernah ngga ada.
Kok bisa sih Allah ada tanpa ada yang menciptakan? Padahal segala sesuatu pasti ada penciptanya?
Gini. Segala sesuatu yang kita tau, termasuk aturan “segala sesuatu pasti ada penciptanya”, itu adalah ciptaan Allah. Allah juga bikin aturan-aturan lain, kayak fisika, matematika, kimia, biologi, astronomi, semuanya aturan yang dibikin Allah.
Semua aturan itu tunduk sesuai perintah dan kehendak Allah, tapi Allah ngga tunduk sama aturan-aturan itu–ya karena mereka semua cuma ciptaan Allah.
Jadi, hukum fisika, matematika, kimia, biologi, termasuk aturan “segala sesuatu pasti ada penciptanya” itu tidak berlaku buat Allah. Allah bisa ada tanpa perlu ada yang menciptakan, tanpa bahan-bahan seperti yang kita pahami di kimia, tanpa ada yang melahirkan seperti yang kita pahami di biologi.
Itulah kenapa kita menyebutnya “Tuhan”–karena Dia ngga sama dengan apapun yang diciptakan-Nya.
Hmm, nampaknya itu pun masih terlalu kompleks untuk anak-anak.
Let me try this one more time:
“Allah itu tercipta dari apa?”
Allah itu ngga tercipta dari apa-apa, Nak, karena Allah ngga diciptakan. Allah ada sendiri tanpa proses penciptaan. Kenapa bisa begitu? Karena Tuhan memang seharusnya begitu, tidak bergantung pada apapun. Satu-satunya yang bisa kayak gitu cuma Allah, makanya kita mengakui dan menyembah-Nya sebagai Tuhan, saking hebatnya.
Eksistensi, apa itu?
Sebuah catatan hasil review dari YT; Bedah Buku Sang Pemuda karya Kang Elvandi
"Idealisme, tersebarnya sebuah gagasan. Harapan, anak muda bangkit membangun peradaban." -Kang El
Disclaimer : catatan ini sebagai salah satu bahan pertimbangan pribadi, investasi masa depan atau tunda kapan-kapan (?) Disarankan untuk yang berjiwa idealis tapi ingin realistis, bukan sekedar ambis.
Buku ini adalah kumpulan artikel pemuda yang ditulis Kang El ketika kuliah di Prancis pada Agustus 2011-2013. Ekspresi keresahan melihat kondisi di Indonesia dan ummat Islam. Buku ini bercerita bagaimana anak muda memiliki obsesi, cita-cita yang luhur. Bukan hanya buat diri sendiri, tapi juga buat agama.
Penelusuran diri sendiri. Tentang cita-cita. Mimpi kita. Ingin jadi apa. Ingin mengejar apa. Apa yang kita pelajari selama hidup?
Waktu SD, kita ditanya cita-cita. Apa jawabannya? Presiden, dokter, polisi, apalagi? Cita-cita yang populer. Itu ga salah, itu bener. Cita-cita itu dipengaruhi orang-orang terdekat, orang tua, oleh guru. Tapi sekarang anak SD cita-citanya apa? Youtuber, influencer.
Orang itu cita-citanya tergantung dari apa yang dia lihat, yang dia tonton, yang dikonsumsi, apa yang dibaca.
Kita punya model pemuda yang agung, umurnya masih belasan tahun tapi sudah berjuang bersama Rasul. Pemuda itu akan dihisab ukurannya oleh Allah sejak aqil baligh.
Anak muda itu akan dihisab dengan pertanyaan berat. Bukan tentang syahadat, sholat saja. Setelah ditanya aqidah, ibadah, akan ditanya juga
"Apa kontribusimu dalam hidup? Apa yang kamu lakukan dalam hidup? Apa saja karya-karyanya? Apa amal sholihnya dengan kuliah itu? Apakah hanya karena gaji? 20jt sebulan nyaman, lalu nikah? Nyicil mobil, rumah sampai tua, mati uda gitu aja? Apa cita-citanya?"
Apakah kita punya cita-cita besar untuk membangun islam? Jadi apapun kita, levelnya level tinggi. The best of our self.
Bagaimana merencanakan planning jangka panjang? Bukan dengan berkhayal, menerawang. Bukan dengan ilmu korologi. Do you know? Korologi is kira-kira.
Jangan salah model. Jangan salah influencer. Influencer sejati siapa? Mush'ab bin 'Umair, berhasil mengislamkan satu kota.
Kalau ingin merancang masa depan, baca buku masa lalu. Kalau ingin menciptakan masa depan, baca sejarah peradaban.
Apa itu makna as-sa'adah? Happiness? Apa itu kebahagiaan?
Hal-hal berharga dalam hidup.
Contohnya, kesehatan dan fisik itu benar-benar harus dijaga.
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
”Ada dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu senggang”.
(HR. Bukhari no. 6412, dari Ibnu ‘Abbas)
Akhwat punya kemampuan fisik untuk melindungi diri. Minimal punya jurus kaki seribu, kalau ada yang jahatin bisa langsung lari.
Pemuda kadang lupa dengan hal-hal yang berharga dalam hidup. Makanya coba diingatkan. Contoh berikutnya, cinta dan pasangan. Harus bener memilihnya karena pasangan seumur hidup.
Persahabatan. Jangan korbankan sahabat dan teman gara-gara uang. Beda madzhab, beda politik. Itu semua ga pernah bisa kita gantikan dengan teman. Jangan korbankan teman hanya karena berbeda pandangan.
Bagaimana pemuda membangun pola pikirnya?
Pemuda selalu berfikir kritis, tidak gampang percaya, tidak mudah percaya, harus diverifikasi. Mengkritisi dengan cara hormat. Membahas konten, tidak membahas lawan bicara.
قُلْ هَاتُوا۟ بُرْهَٰنَكُمْ إِن كُنتُمْ صَٰدِقِينَ
"Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar. "
(Q.S Al-Baqarah : 111)
Hari ini kita menghadapi kompetisi yang sengit. Siapa yang belajar dengan cepat, efisien, dia yang akan menang. Bukan yang paling pintar. Karena tidak ada yang lebih pintar dari komputer sekarang.
Formal learning. Kuliah itu bukan (hanya) untuk mentransfer ilmu, tapi membangun mental pembelajar. Kalau kita mau belajar sendirian, otodidak. Modal utama adalah bahasa asing. Zaid bin Tsabit belajar bahasa Ibrani selama 2 pekan. Kita belajar bahasa inggris 6 bulan belum tentu lancar kan?
Merantau. Itu ternyata perintah Al-Qur'an.
قُلْ سِيرُواْ فِي الأَرْضِ ثُمَّ انظُرُواْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ
"Katakanlah : Berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu." (Q.S Al-An'am : 11)
Kemanapun kita jalan-jalan. Kemanapun kita menjelajah, tapi tetap; ruang kontribusi kita adalah di Indonesia.
Digital. Smartphone harus didampingi oleh smartpeople. Cara kita untuk mengakselerasi diri dengan tau caranya, tau sumbernya. Jangan sampai ilmu itu numpuk disini(gawai), tapi kita seperti tikus yang mati di ladang.
Seorang pemuda itu belajar dimanapun, kapanpun tanpa dibatasi ruang kuliah.
Bagaimana Sang Pemuda bukan hanya memimpin dirinya sendiri, tapi dia bisa mengubah masyarakat.
1. Diawali dari mental. Selalu ingin lebih. Agar lebihnya itu digunakan untuk memimpin orang lain. Orang yang mentalnya ciut, tidak mungkin berani menyampaikan gagasan.
2. Cara membangun teamwork produktif. Modelnya Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam.
3. Konsep kepemimpinan para pemuda
Pertanyaan terakhir,
"Apa harapan dari buku ini?"
Obsesi besar Kang El adalah membangun ummat di tangan pemuda.
4 level :
1. Anak muda yang produktif
2. The expert muslim
3. Aktivis yang menggerakkan masyarakat
4. Al-khalifah fil ardh, harus memimpin
Sang Pemuda; bukan bacaan ringan, bukan bacaan pelepas lelah. Sebuah manifesto Elite Circle yang diawali dari membangun generasi muda dengan produktifitas muslim.
So, semakin yakin siap menjadi bagian dari agen peradaban? Atau justru timbul keraguan? Segera tentukan! Sekarang, atau berakhir penyesalan.
Room Decision, 141120 at 01.37 WIB
October
L.M. Montgomery - Anne of Avonlea, Carole Maso - The Art Lover, Louise Gluck - Averno: "October," Leif Enger - Peace Like a River, Van Gogh - Avenue of Poplars in Autumn, Personal Photo, Mary Oliver - Song for Autumn, Dulce María Loynaz – Absolute Solitude: Selected Poems (tr. James O’Conner), A screenshot from Over the Garden Wall, Carol Bishop Hipps - "October," Angela Carter - Burning Your Boats: The Collected Short Stories, Personal Photo, Cy Twombly - Autumn, Rainer Maria Rilke - "Autumn," Alejandra Pizarnik - Extracting the Stone of Madness (Tr. Yvette Siegnert)
Hallo kak Dea, tau tempat kursus web design online atau offline di Surabaya yang bagus? Saya tertarik belajar web design otodidak tapi basic ilmunya 0 banget, terima kasih sebelumnya kak, stay safe and stay sane dimanapun kak Dea berada..m
Dicoding bagus sih. Online.
kuharap hatiku bisa berdamai setelah dengan jahat mencaci diriku sendiri.
kuharap tangisku meredakan sesak yang ada di dadaku.
karena dalam hidup ini, sekalipun ingin menyerah, aku masih ingin berjuang.
itu sebabnya, walau sakit, akan kutahan.