Nggak semua kesempatan bisa kita dapatkan, kalau kemudian ada orang yang membukakan atau memberi kesempatan. Kata guruku, coba aja dulu meski kita nggak yakin, kerjakan semaksimalnya kita, soalnya kalau orang lain berani ngebukain dan ngasih kesempatan itu tandanya mereka bisa melihat sesuatu di dalam diri kita yang gak kita sadari, yang kita sendiri juga gak tahu. Tapi, mereka percaya dan berani bertaruh atas kesempatan yang diberikan itu. Cobalah untuk berupaya sekuat tenaga, tunjukkan upaya yang maksimal, karena itu yang bisa kita kendalikan, soal hasil biar urusan nanti. Paling tidak, kita menunjukkan bahwa kita sesungguh-sungguh itu, kita berusaha menjaga kepercayaan yang diberikan, kita nggak sia-siain kesempatan yang udah dibukain, yang udah dikasih.
Sebab, banyak dari mereka yang membuka dan memberi kesempatan itu tidak hanya melihat hasilnya, tapi juga upaya kita. Nggak menutup kemungkinan, besok-besok kita akan terus diberikan kesempatan baru. Kesempatan yang akhirnya membuat kita berkembang melebihi apa yang kita pikirkan selama ini. Karena keterbatasan pengetahuan kita melihat diri sendiri.
Suatu hari kita bisa menjadi orang yang memberi kesempatan, membukakan jalan bagi orang lain. Kalau saat kita, kita sedang dibukakan jalannya. Jangan tutup jalan itu dengan kemalasan, nggak niat ngerjainnya, ngilang, menyalah-nyalahkan orang lain, dan berbagai hal yang membuat pintu kesempatan berikutnya tidak lagi terbuka. Pada kondisi yang tertekan, biasanya orang akan menunjukkan bagaimana respon dan coping mechanism nya. Kalau respon kita merugikan, coping mechanism kita tidak memecahkan masalah. Barangkali sudah cukup. Kapasitas kita memang hanya sedemikian aja, nggak bisa lebih dari itu. Kalau mau lebih dari itu, maka kita harus bisa mengelola diri kita sendiri dengan lebih baik terlebih dahulu.
Kalau kita berharap memegang hal-hal besar, maka risiko - konflik - dan berbagai macam tantangannya akan semakin besar. Kalau ingin berkembang lebih jauh, pasti nggak enak, nggak nyaman, gak menyenangkan sama sekali.
aku melow bgt tiap ingat tentang keluarga. mereka orang-orang penting di hidupku. mungkin sebab dari kehampaan yang selama ini kurasakan di perantauan adalah karena posisiku jauh dari keluarga.
opu, mama, kakak, adik, dan keponakan²ku. aku cinta kalian, sungguh.
di depan kalian aku ini pemalas, pemarah, dan galak.
tapi saat jauh, aku sungguh rapuh tanpa kalian :))
Assalamu 'alaikum, kak Yasir. Sy telah melakukan tindakan dan mengambil bbrp keputusan yg ternyata salah, dlm hidup sy selama 2 th terakhir menjalani pendidikan S2. Akhirnya sy jadi yg paling lambat progresnya dibanding tman kelas yg lain. Pdhl dulu, sy termasuk aktif di kelas. Sy minder banget dan merasa gagal krn blm mulai tesis smpai skrg. Perasaan ini malah bikin sy berusaha mencari pengalihan shingga progres sy tetap melambat. Mohon saran dan nasihatnya, kak. Trimakasih.
Wa’alaykumussalam Wr Wb.Maaf banget–kalau kamu masih baca blog ini, saya baru jawab sekarang. Ini pertanyaan udah lama banget. Mungkin kamu udah selesaikan S2 kamu saat ini.
Saya ingin berpendapat tentang ini karena barangkali ada temen-temen lain yang sekarang situasinya mirip dengan situasi kamu saat itu.
Apa yang kamu alamin sedikit banyak juga saya rasain meski dalam konteks dan kadar yang berbeda. Kalau saya konteksnya adalah karir. Saya akan berbagi hal yang saya lakukan yang kira-kira relevan untuk menghadapi situasi itu.
Pertama, berangkat dari kepercayaan bahwa kita ini ga buruk, ga bodoh. Kita perlu sadar bahwa kita punya kekuatan. Kalau bisa, coba telusuri bukti-bukti di masa lalu bahwa kita ini orang yang keren, prestatif, cerdas, atau atribut positif lainnya.
Hanya saja, situasi sekarang ga mendukung kita untuk menjadi versi terbaik diri kita. Entah itu karena keputusan-keputusan yang kita ambil maupun karena faktor eksternal.
Bukan mengajarkan untuk punya mental playing victim ya, cuma menurut saya sah jika kita ngerasa ada hal-hal di luar diri kita yang memengaruhi pikiran dan mental kita sehingga entah bagaimana kita jadi ga optimal. Justru, ini perlu kita identifikasi supaya kita ngerti apa yang terjadi.
Kedua, menurut saya ya, dalam situasi kayak gini kita perlu mengumpulkan banyak energi mental dan mengurangi saluran-saluran yang mengurasnya. Misalnya, kalau dengan break satu pekan kamu bisa ngerasa ke-recharge, so be it. Kalau dengan interaksi sama temen-temen kamu ngerasa terkuras, bilang aja bahwa kamu lagi perlu sendiri dan kurangi interaksi sama mereka.
Sesuatu yang sangat boleh menjadi egois ketika kondisi mental kita kurang sehat. Ini advice yang saya dapat waktu saya konsultasi ke psikolog.
Ketiga, kita perlu lingkungan yang suportif. Diantara cara menciptakannya ya kita mesti cerita situasi kita, ketakutan kita, ke orang-orang yang berurusan sama kita. Supervisor, peer, keluarga, dll. Ini berguna untuk menetapkan ekspektasi dari orang lain kepada diri kita, menghilangkan sebagian beban untuk tampil “sempurna” di mata mereka, sebagai bonus barangkali mendapatkan dukungan moral dari mereka.
Keempat, bikin milestone-milestone kecil dan belajar mengapresiasi diri kita sendiri. Coba bikin jurnal harian di mana kita mengapresiasi hal-hal positif yang terjadi hari itu. Ini membantu mengarahkan pikiran kita untuk fokus pada hal baik dan ngga tenggelam dengan pikiran negatif, karena seringkali kita tuh di mata orang baik-baik aja, tapi kita sendiri secara mental “memukuli” diri kita sendiri habis-habisan.
Dari situ, semoga bola salju positivitas bisa bergulir, makin besar dan makin kuat sehingga mengantarkan kamu kembali ke performa terbaik kamu.
Perasaan gak tenang karena dibenci orang itu manusiawi, kalau dalam bahasa syaksiyah Islamiyyah, udah part of naluri mempertahankan diri, manusia hidup ada eksistensi yang mereka kejar namanya mengejar eksistensi tentu ada pengakuan didalamnya, kita butuh diakui toh? dibenci orang? ya bisa mengganggu eksistensi dong.
Dulu saat saya masih aktif askfm, banyak banget kalimat-kalimat kebencian yang masuk ke question box saya, kadang saya baca kadang saya hapus tanpa menjawabnya, enak gak enak sih baca komentar orang itu mulai dari yang lemah lembut sampe ke yang kasar.
Dari sanalah saya belajar bodo amat dengan komentar orang tentang apapun yang saya posting, selama gak ngelanggar syariat, gas aja.
Beberapa selebgram idola para remaja yang juga perusak moral anak bangsa gak ada malu-malunya menunjukkan kehidupan yang sesat dan kekufuran pada Allah, kenapa kita yang mau taat malah ketakutan dengan komentar orang?
Whatever we do kalau ada orang yang ngebenci diri kita, ya kita tetap bakal dibenci terlepas apapun yang kita lakuin.
Beda ketika yang dibenci adalah perilaku kita, maka kalau kita berubah sesuai dengan seleranya, orang itu tidak akan membenci tapi malah suka.
Ini sudah paling wajar dan manusiawi, kalo ada selebgram yang suka seksi-seksi pake bikini hijrah taubat semua foto seksinya dihapus, pasti bakal disuka sama yang dulu membencinya karena kemaksiatannya.
Jadi? dibenci/enggak itu tergantung Value hidup yang kita tampilkan ke orang lain, orang yang se Value sama kita gak akan membenci kita, kalau yang beda value? udah bisa dipastikan bakal ngebenci/gak suka.
Bicara soal kebencian, apakah itu perbuatan yang gak boleh ada didalam kehidupan ini? apa jadinya sih hidup ini kalo gak ada kebencian? kayaknya gak bakal seru deh, kurang menarik ;-p.
Karena kebencian & cinta itu masuk dalam ujian kehidupan kita, bener gak? orang kalau udah cinta apapun bisa dia lakuin, begitupun dengan benci.
Makanya dalam Islam cinta & benci ada pembahasannya, dibahas detail, rinci bersama kasus-kasusnya, kenapa? agar kita tetap bisa bersikap ADIL dan tidak saling mendzalimi.
bahkan nih kalo temen-temen rajin baca Sirah Nabawiyyah, analisis dengan baik deh bagaimana Perilaku Rasul saat berhadapaan dengan orang yang membenci beliau serta orang yang beliau cintai & benci.
Lho rasulullah membenci orang? iya ada kan penjelasannya, bahkan itu jadi syariat untuk kita, yaitu membenci perilaku orang-orang yang membenci rasulullah & Allah, serta membenci apa yang Allah & Rasul-Nya benci.
Ada kisah yang selalu saya ingat, soal bagaimana perilaku rasulullah dihadapan orang yang membenci rasul, rasul dilempari maaf tai sama Abu Lahab, terus rasul ngapain? gak ngapa-ngapain diem aja, lalu pergi ngebersihin baju beliau dirumah anak beliau Fatimah Az-Zahra Radhiyallahu anha.
Itu perilaku rasulullah dihadapan orang yang membenci beliau. Bayangin dengan kita? dilemparin maaf tai pas lagi asik asik jalan, emosi banget pasti kan? saya aja kalo diomelin pagi-pagi cuma karena lupa matiin air itu emosi banget, apalagi dilempari maaf ‘tai’. Bedain dengan sikap rasulullah pada orang-orang yahudi yang melanggar perjanjian. Sanksi Tegas.
Memang sih gak bakal ada yang kayak rasulullah, karena akhlak rasulullah itu Al-Qur'an, tapi Allah tetep merintahin kita untuk mencontoh rasulullah, Allah pasti udah tau kita gak bakal pernah bisa sama dengan rasulullah.
Tapi setidaknya kalau diibaratin lomba lari, rasulullah diurutan pertama nah kita-kita ini apakah bisa punya perbedaan jarak 10 cm, 1 m, 20m, 30 m, tentunya paling bagus jangan sampai terlalu jauh dari urutan pertama toh? nah begitulah kita berusah mengejar kesempurnaan Akhlak rasul.
Lah rasulullah tidak takut kok jadi orang yang dibenci orang lain? kenapa? karena Misi yang rasul emban, yaitu Islam. Seandainya dulu rasulullah takut dibenci karena membawa Islam, kira-kira apakah Islam akan berkembang sampai ke diri kita? enggak.
Nah sekarang pertanyaanya adalah kita, apa yang kita emban? karena setiap manusia pasti punya haters, misal kamu gak suka manusia-manusia yang suka mengkampanyekan pemikiran kufur nan sesat sejenis feminisme, liberalisme, pluralisme, komunisme, apalagi yang suka ngutak ngatik syariat Islam sesuai jidadnya, asli saya juga benci banget manusia demikian dan ooh tentu saja kamu akan dibenci orang-orang yang mengemban pemikiran itu.
Kalau kita lihat seorang selebgram yang selalu kampanye 'love yourself don’t give a f’“ to others people, let them hate you blabla’ disitu kita bisa mikir nih tukang endorse kemaksiatan aja gak takut dibenci, kenapa kalian yang mengendorse ketaatan takut dibenci orang?
Ayolah come on, dikatain sok suci dkk? bodo amat, yang maksiat aja bodo amat. dikatain riya gegara posting di kajian? bodo amat, yang suka dugem aja rajin posting, dikatain ini itu gegara dakwahin jangan dekati zina? bodo amat, yang dadanya dicubit dan minta dikencengin cubitannya aja masih eksis :-p, kenapa situ yang mau taat malah ketakutan dengan hujatan orang?
Be brave, selow, santuy, dan keep calm macem ustad Zainullah Musllim pas di geruduk ban serep.
kalau kamu sudah melewati usia 20-25 yang konon adalah masanya seseorang mengalami quarter life crisis, akan tetapi masih kerap merasakan keresahan, kekhawatiran, atau ketidaknyamanan hati, kemarilah duduk bersama saya.
saya hanya ingin bilang bahwa kamu tak sendirian. bahwa yang kamu alami sangat wajar. bahwa apa yang kamu rasakan perlu untuk kamu terima.
saya mengerti bagaimana merindunya kamu kepada teman-temanmu yang sudah tenggelam dalam kehidupannya sendiri-sendiri: keluarganya, pasangannya, anak-anaknya, pekerjaannya, bisnisnya, karyanya.
saya mengerti bagaimana sesekali kamu ingin kembali menjadi anak kecil di hadapan orang tuamu. menangis dan meraung karena tak berhasil meraih sesuatu. atau hanya ingin menangis karena sekadar mengantuk.
saya mengerti bagaimana mungkin kamu ingin cuti hidup. sehari dua hari tanpa melakukan apa pun, tanpa menjalani peran apa pun.
saya mengerti bagaimana kamu gengsi untuk menumpahkan rasa lelahmu karena yah, seharusnya kamu sudah dewasa sekarang. yang kamu percaya, menjadi dewasa adalah tidak pernah mengeluh.
saya mengerti bagaimana kamu pada titik-titik tertentu berujar, "ah seandainya ini dan itu bisa diulang kembali. saya akan ambil keputusan ini atau itu."
saya mengerti bagaimana masa depan tampak mengerikan meskipun kamu telah sekuat tenaga membuat rencana dan menggalang persiapan.
saya mengerti bagaimana jiwamu seakan berceceran sebelum kamu tidur. kamu berharap bahwa malam akan mengumpulkan potongan-potongan jiwamu itu. namun tidak, di pagi hari, masih ada lubang yang menganga di hatimu.
kemarilah, kawan. duduklah di sebelah saya. tumpahkanlah semua yang menggantung di ujung matamu. menjadi dewasa tak berarti memiliki hidup yang paripurna. menjadi dewasa adalah menjalani hidup dengan berani--dengan penuh kesadaran bahwa krisis tak kenal usia.
semoga kamu selalu menemukan keberanian itu.
was was kalau udah muncul gejala batpil 🙃🙃 semoga segera reda dan gak lanjut ke gejala yg berat huhu, trauma pernah batpil berkepanjangan hampir 1 bulan baru sembuh 🤧
gak pede nge tag temen di IG story karena gak pernah di repost 🤣 ada yang sama?
sekitar kurang dari tiga bulan lagi umurku menginjak usia 24 tahun. aku sendiri kaget, lha apa bener masa-masa SMP dimana aku dan geng mengidolakan coboy junior itu terjadi 10 tahun yang lalu. jujur aku takut dengan umur 24. dibalik angka ini tersimpan banyak sosial standar yang mulai akan mengganggu ketenangan hidupku. salah-satu kata kuncinya adalah 'menikah'. aku tidak menyangka jika istilah menikah benar² menjadi sebuah isu yang sangat dipermasalahkan dikalangan orang dewasa. orang dewasa tidak bisa santai dengan yang namanya status single. orang-orang yang mempertanyakan dimana jodohku masih segelintir sih, jadi aku belum merasa risih untuk hal yang satu ini.
umurku hampir 24, dan aku terjebak pada kegalauan ingin tetap stay di tanah rantau sambil memilin cita atau pulang ke tanah lahir dan hidup berdampingan dengan mama. ada sebuah paradoks yang membuatku cukup bingung untuk memilih. intinya aku sudah punya pekerjaan yg layak disini, jika aku pulang ke kampung belum tentu aku dapat pekerjaan yg lebih baik dan senyaman disini. tapi disatu sisi aku merasa hampa dan ingin tinggal bersama keluarga. kata kakakku mungkin aku membutuhkan pasangan :p tapi pasangan means orang asing, dan yg kubutuhkan adalah keluarga yg bersamaku sedari kecil, karena yg aku rindukan adalah sosok mereka yang menjadi tempatku pulang sedari kecil. aku mencari sesuatu yg hilang semenjak aku dewasa sepertinya :(
pagi ini aku keluar untuk mencari sarapan. langit biru cerah yang kupandangi sambil berjalan tidak hanya mengundang senyum namun juga renungan. kupikir renungan ini tidak ada sangkut pautnya dengan langit namun entah mengapa membuatku terpikirkan begitu saja. memang setiap orang akan menua, dan setiap anggota keluarga akan menemukan jalannya masing-masing. aku, kakak²ku, ataupun adik²ku. pada akhirnya kami bersaudara berjalan di sisi jalan masing-masing, tidak selamanya kami bisa berkumpul bersama. suatu saat pasangan yg berawal sebagai orang asing yang akan menjadi teman hingga menua jika diizinkan.
kuseret kakiku pelan. apa iya aku butuh pasangan? apa sekarang aku perlu meminta dan mengusahakannya di setiap doa-doaku?
aku berhasil membawa pulang satu porsi soto ayam. harganya murah, hanya 10 ribu. saat tiba di kosan aku langsung melahap habis. iya, aku sangat lapar karena melewatkan makan malam dengan gaya.
kumulai panggilan grup di jendela grup keluargaku. tersambung beberapa saudara. mereka saudaraku, beberapa sudah menikah dan keluarga kecil mereka adalah prioritas. pada akhirnya aku menjadi orang diurutan beberapa tingkat dibawah di hidup mereka. aku tidak sepenting itu. i'm not the center of their lifes. dan ya, itulah yang seharusnya terjadi karena aku juga harus menemukan kehidupanku sendiri.
aku teringat ucapan mama. mama ingin aku menikah agar ada seseorang yang menjagaku. beliau hanya ingin ada seseorang yang menjagaku karena beliau tau masing-masing kami akan berlayar ke pelabuhan yang berbeda. jadi apa aku bisa bertemu dengan seseorang yang akan berlayar menuju pelabuhan yang sama denganku?
ah sudahlah. aku ingin pulang dan memeluk mereka.
Salah satu pedang bermata dua yang dimiliki seorang perfeksionis adalah mentalitas “lakukan dengan sempurna, atau tidak sama sekali.”
Di satu sisi, ini membuat para perfeksionis bekerja dengan luar biasa jika mereka memang harus mengerjakan sesuatu. Di sisi lain, ini membuat mereka lumpuh manakala menghadapi sebuah urusan yang nampak besar dan kompleks.
Terbayang-bayang betapa besarnya energi yang mesti mereka miliki untuk membuat urusan besar nan kompleks itu “sempurna”; terbayang betapa tidak sempurnanya kapasitas dan sumber daya mereka saat itu. Stress jadinya.
Beruntung, semasa kuliah, sebuah buku berjudul “The One Thing”, tulisan Garry Keller, mengubah hidup saya yang merupakan seorang perfeksionis ini.
Inspirasi utama yang saya dapatkan dari buku itu adalah: dalam hidup, kita tidak perlu mengambil semua hal, melakukan semua hal, atau menjadi lebih baik dalam semua hal. Seringkali, kita hanya perlu peduli pada satu hal saja, dan itu cukup untuk membuat kita menjadi lebih baik.
Dahulu kala, jika saya membaca buku, biasanya saya ingin merengkuh semua poin yang disampaikan oleh penulis. Terlalu banyak informasi (fakta atau opini) yang nampaknya akan berguna (meski entah kapan dan bagaimana saya akan menggunakan informasi tersebut), yang terlalu sayang jika tidak mampu saya ingat baik-baik.
Agar bisa mengingat informasi-informasi tersebut, sebagian orang menandai bagian-bagian tertentu dengan stabilo. Sebagian lagi menulisnya dalam sebuah catatan, dan lain sebagainya.
Lalu, mari kita bertanya kepada diri kita sendiri, dengan upaya tersebut, memangnya seberapa banyak informasi yang akhirnya berhasil kita ingat? Seberapa sering (atau bahkan, pernah kah?) kita kembali ke tanda stabilo atau catatan kita?
Bagi saya sendiri, jawaban dari kedua pertanyaan tersebut tidaklah membahagiakan.
Alih-alih berusaha merengkuh semua informasi, saya menemukan bahwa jika saya hanya menangkap satu saja informasi yang paling mengesankan bagi saya, lebih besar kemungkinan saya mengingat informasi tersebut dalam jangka waktu lama.
Bahkan, informasi itu tidak sekadar menjadi ingatan “mati”–layaknya kertas yang menyimpan informasi, namun informasi itu tidak berguna bagi dirinya.
Dengan bertanya, “Apa satu hal paling penting dari buku ini?”, saya berhasil menangkap satu informasi yang lalu membekas dan ter-“install” dalam diri saya. Ia menjadi bagian dari diri saya.
Pertanyaan mengenai “Apa satu hal…” ini adalah pertanyaan yang perlu dibiasakan. Jika kita sudah terbiasa, maka kita bisa mengimplementasikannya dari level makro hingga ke level mikro.
Sebagai contoh, jika awalnya kapasitas kita hanya mampu menangkap dan mengingat “satu hal” dari sebuah buku, di tingkatan selanjutnya kita bisa bertanya “Apa satu hal paling penting dari bab pertama?”, lalu “Apa satu hal paling penting dari bab ke dua?”, dan seterusnya.
Efeknya, kita jadi lebih terbiasa “menerawang” benang merah di balik segala sesuatu, di berbagai level.
Kita jadi lebih terbiasa menangkap substansi, tidak terdistraksi oleh hal-hal yang non-substantif.
Ini tidak hanya berlaku pada buku. Ini adalah kebiasaan yang universal, yang bisa diterapkan dalam berbagai konteks.
Ini semua membawa saya pada gagasan bahwa untuk menjadi seseorang yang sangat keren, kita tidak perlu berusaha menelan semua atribut sebuah hidup yang keren.
Misalnya, kita menuntut diri kita untuk memiliki karir yang bagus, karya yang booming, bisnis yang ekspansif, investasi yang bertumbuh, pikiran yang tahu segala hal, dan lainnya di waktu yang sama.
Mengapa? Karena kita akan kewalahan. Jika kita kewalahan, upaya kita akan berumur pendek, tidak berkelanjutan, tidak konsisten. Lalu pada akhirnya kita akan menemukan diri kita belum beranjak jauh dari titik awal.
Alih-alih begitu, beritahukan kepada diri sendiri bahwa kita cukup menjadi 1% lebih baik hari ini dibanding hari kemarin. Itu saja. Lakukan setiap hari.
Jika kemarin menjelang tidur kita habiskan dengan berseluncur di Instagram, hari ini menjelang tidur kita habiskan dengan menonton TED Talks, mungkin?
Jika hari ini saya tidak mendapat asupan pengetahuan baru, maka besok saya akan menghabiskan 15 menit membaca Blinkist, dan seterusnya.
Cukup satu persen saja perubahan kecil yang kita lakukan untuk diri kita di satu hari, lalu kita kunci perubahan tersebut di hari-hari setelahnya. Bayangkan, berapa persen perubahan yang akan terjadi pada diri kamu setelah satu tahun?
Selamat bertumbuh 1% lebih baik setiap hari!
أفلا يتدبرون القرآن
آداب تلاوة القرآن👇