sekitar kurang dari tiga bulan lagi umurku menginjak usia 24 tahun. aku sendiri kaget, lha apa bener masa-masa SMP dimana aku dan geng mengidolakan coboy junior itu terjadi 10 tahun yang lalu. jujur aku takut dengan umur 24. dibalik angka ini tersimpan banyak sosial standar yang mulai akan mengganggu ketenangan hidupku. salah-satu kata kuncinya adalah 'menikah'. aku tidak menyangka jika istilah menikah benar² menjadi sebuah isu yang sangat dipermasalahkan dikalangan orang dewasa. orang dewasa tidak bisa santai dengan yang namanya status single. orang-orang yang mempertanyakan dimana jodohku masih segelintir sih, jadi aku belum merasa risih untuk hal yang satu ini.
umurku hampir 24, dan aku terjebak pada kegalauan ingin tetap stay di tanah rantau sambil memilin cita atau pulang ke tanah lahir dan hidup berdampingan dengan mama. ada sebuah paradoks yang membuatku cukup bingung untuk memilih. intinya aku sudah punya pekerjaan yg layak disini, jika aku pulang ke kampung belum tentu aku dapat pekerjaan yg lebih baik dan senyaman disini. tapi disatu sisi aku merasa hampa dan ingin tinggal bersama keluarga. kata kakakku mungkin aku membutuhkan pasangan :p tapi pasangan means orang asing, dan yg kubutuhkan adalah keluarga yg bersamaku sedari kecil, karena yg aku rindukan adalah sosok mereka yang menjadi tempatku pulang sedari kecil. aku mencari sesuatu yg hilang semenjak aku dewasa sepertinya :(
pagi ini aku keluar untuk mencari sarapan. langit biru cerah yang kupandangi sambil berjalan tidak hanya mengundang senyum namun juga renungan. kupikir renungan ini tidak ada sangkut pautnya dengan langit namun entah mengapa membuatku terpikirkan begitu saja. memang setiap orang akan menua, dan setiap anggota keluarga akan menemukan jalannya masing-masing. aku, kakak²ku, ataupun adik²ku. pada akhirnya kami bersaudara berjalan di sisi jalan masing-masing, tidak selamanya kami bisa berkumpul bersama. suatu saat pasangan yg berawal sebagai orang asing yang akan menjadi teman hingga menua jika diizinkan.
kuseret kakiku pelan. apa iya aku butuh pasangan? apa sekarang aku perlu meminta dan mengusahakannya di setiap doa-doaku?
aku berhasil membawa pulang satu porsi soto ayam. harganya murah, hanya 10 ribu. saat tiba di kosan aku langsung melahap habis. iya, aku sangat lapar karena melewatkan makan malam dengan gaya.
kumulai panggilan grup di jendela grup keluargaku. tersambung beberapa saudara. mereka saudaraku, beberapa sudah menikah dan keluarga kecil mereka adalah prioritas. pada akhirnya aku menjadi orang diurutan beberapa tingkat dibawah di hidup mereka. aku tidak sepenting itu. i'm not the center of their lifes. dan ya, itulah yang seharusnya terjadi karena aku juga harus menemukan kehidupanku sendiri.
aku teringat ucapan mama. mama ingin aku menikah agar ada seseorang yang menjagaku. beliau hanya ingin ada seseorang yang menjagaku karena beliau tau masing-masing kami akan berlayar ke pelabuhan yang berbeda. jadi apa aku bisa bertemu dengan seseorang yang akan berlayar menuju pelabuhan yang sama denganku?
ah sudahlah. aku ingin pulang dan memeluk mereka.
Aku kuat aku kuat. 😥😥😂 tanggal segini gaji belum cair, yuk bisa yuk
aku terus memandangi foto keluarga, membayangkan kami sekeluarga bisa tinggal bersama lagi.
sarapan bersama, menonton TV bersama, melakukan banyak hal menyenangkan bersama.
September 2020, aku memutuskan pulang ke tanah lahir. Pandemi membuat pekerjaanku sebagai seorang guru dapat di-remote dari rumah. Di hari pertama menginjakkan kaki dirumah kayu kami yang sederhana aku merasa sangat bahagia hingga menyesal kenapa aku tidak pulang kerumah dari awal pandemi saja :).
Kotamadya dimana aku lahir adalah kota biasa yang sebenarnya sama sekali tidak ada hal yang menarik disana, tapi ia menjadi kota yang sangat aku rindukan dan aku nantikan... karena disanalah mama, kakak, adik, dan mendiang opu berada. keluargaku membuat kota ini menjadi sangat tidak ternilai.
tidak terasa, Allah berikan aku waktu 9 bulan untuk menikmati momen hangat berkumpul dengan keluarga. Hingga Kota B dimana aku menimbun impian kembali memanggilku.
saat aku harus pergi dan kembali membangun tembok jarak diantara aku dan keluarga, rasanya sangat sakit dan berharap mimpi-mimpi yang aku titip di Kota B dapat aku runtuhkan saja. sampai sekarang aku berfikir, apakah keputusanku meninggalkan rumah adalah keputusan yang salah ?
bagaimana bisa aku hidup jauh dari mereka ?
sayangnya mereka akan kecewa jika aku tidak meneruskan mimpiku, mereka yang selalu memberikan dukungan penuh untukku tanpa tapi.
aku memeluk erat mama. pelukan erat sebagai momen terakhir kali di kota lahir yang membuat kakiku berat melangkah. Saat itu aku benar-benar ingin membatalkan semuanya. Tapi aku tidak punya nyali setelah perjuangan dan pengorbanan yang keluargaku kerahkan agar aku bisa meraih satu cita sederhanaku di kota B.
sudah beberapa bulan berlalu, aku menjalani rutinitas di Kota B dengan banyak kesabaran. karena beberapa hal terjadi tidak sesuai dengan ekspektasi, aku bertemu dengan beberapa kendala dan situasi yang membuatku tidak nyaman. dan ini adalah hal yang normal karena sampai kapanpun dunia adalah tempat yang penuh dengan masalah.
aku menelpon adik bungsu yang ternyata akan berangkat ke Kota rantaunya juga, kota dimana adikku memupuk impian dan berjuang meraih gelar sarjananya.
aku hanya merasa bahwa pandemi disatu sisi adalah bencana namun disisi yang lain ia membawa hikmah dan berkah. kami tertawa dan berkumpul bersama dirumah beberapa bulan yang lalu dikarenakan situasi pandemi yang tidak mendukung mobilitas kami ditanah rantau.
sekarang pandemi terlihat sudah mereda dan semoga benar-benar hilang dalam waktu dekat. kegiatan di sektor pendidikan yang dulunya sangat terbatas mulai dapat diakses lagi. Guru, murid, dosen dan mahasiswa dapat melaksanakan perannya dengan lebih nyaman lagi.
jangan takut bermimpi. mimpi itu yang buat kita terus bergerak dengan penuh makna.
yg namanya mimpi itu gratis, tapi untuk mewujudkannya perlu perjuangan.
jika suatu saat mimpi tak dapat terwujud, setidaknya kita sudah berusaha
Pandemic covid 19 kemarin dalam konteks manajemen, merupakan bagian dari fenomena krisis. Maka dalam menyikapi organsiasi atau perusahaan di era krisis, manajemen harus menerapkan skema manajemen krisis.
Diantaranya ada 3 tahap : pre crisis, crisis response dan post crisis. Singkatnya, kita sudah mulai memasuki fase ke 3, tugas manajemen pada fase ini harus mulai memikirkan langkah dalam mengakselerasi gerak untuk menutup gap yang terjadi selama krisis kemarin terjadi, yang mempengaruhi banyak sektor.
Salah satu problem dari sudut pandang HR, adalah adanya gejala pandemic fatigue, yaitu kondisi kelesuan/lelahnya SDM akibat tekanan mental di kala pandemi naik begitu pesat, dampaknya adalah tidak sedikit yang mulai terjebak di zona nyaman, seperti media daring sebagai opsi pertama untuk bertemu, padahal dulu alasan diberlakukan demikian, adalah karena pembatasan sosial.
Rapat yang sebenarnya sudah mulai boleh dilakukan secara luring, even masih harus memenuhi protokol, mayoritas memilih untuk online, alhasil luaran dari rapat menjadi tidak optimal. Sebab memonitor dan mengevaluasi peserta rapat saat online susah, apalagi kalau pada pasif, dan lebih-lebih off-cam.
Lantas harus gimana?
Sudah siap dengan skema baru?
Ini penting, mau oeganisasi profit/non profit, organisasi mahasiswa, bahkan organisasi tanpa bentuk sekalipun~
Intinya,
edisi lagi belajar karena harus ngisi materi berkaitan soal diatas, jadi kudu ditulis biar inget wkwk
Bandung, 30 Mei 2023
Bertemu lagi dengan 30 Mei, rasanya haru.
Overwhelmed nyari kado lahiran dari seminggu ya lalu:"
Jangan lemah.
Jangan lengah.
Jangan kalah.
Perjuangkan
Ramadhan
Terbaikmu!
Ustadz Nuzul Dzikri, Lc. حفظه لله تعالى
Tersenyumlah, ada hikmah di dalamnya. Jangan sampai kau berputus asa..
…akan aku sematkan pada awal tulisan kali ini.
Jangan, kumohon jangan. Jangan menggerutu pada takdir dan ketetapan yang ditentukan oleh Ar-Rahman. Jangan menyimpan banyak pertanyaan, jangan membiarkan singkatnya kalimat tanya ‘kenapa?’ membuat imanmu goyah dan runtuh sebab merasa Allah memberikan ujian yang terlalu berat. Terlalu besar, dan terlalu rumit untuk akhirnya ditawakkal-kan.
Seberapapun kita akan dibuat berkali-kali jatuh, akan selalu ada kekuatan untuk bangkit jika Allah menjadi tempat yang dituju. Sebagaimanapun kita akan dibuat berurai-urai air mata, akan selalu ada setitik cahaya, untuk akhirnya menyapu dan menyirnakan badai kesedihan di dalam jiwa. Jika masih Allah, yang menjadi tempat kita memuarakan segala rasa.
Saudaraku, apapun yang sedang menimpamu hari ini.. kuyakin, kau kuat. Lebih kuat dari sekuat yang kau kira. Meski aku tak mengetahui, bagaimana kau sedang dibuat berdarah-darah, aku yakin, in syaa Allah, selagi iman itu masih terpancar dari balik dadamu, kau mampu. Dan kau akan berhasil melewatinya. Ingatlah, tentang apa yang Allah katakan,
“Kamu benar-benar akan diuji pada hartamu dan dirimu” (QS. Ali ‘Imran 186)
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan ‘Inna lillahi wa inna illaaihi ra’jiun” (QS. Al baqarah 155-156)
Demikianlah..
“Seorang Mukmin pasti akan diuji pada harta, jiwa, anak dan keluarganya.”
Saudaraku, pernahkah kita mendengar kisah Urwah bin Az-Zubair dengan ujian yang Allah berikan kepadanya? Dan sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda,
“Sesungguhnya besarnya pahala tergantung dengan besarnya ujian. Sesungguhnya, apabila Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan mengujinya. Siapa yang ridha dengan ujian itu, maka ia akan mendapat keridhaan-Nya. Siapa yang membencinya maka ia akan mendapatkan kemurkaan-Nya”
Tersebutlah, pada suatu hari seorang Khalifah dari bani Umayyah, Al-Walid bin Abdul Malik, mengundang Urwah bin Az-Zubair untuk mengunjungi istananya di Damaskus. Adalah sebagai wujud sapaan cinta, untaian hormat dari sang Khalifah. Urwah memenuhi undangan tersebut dengan menggandeng anak sulungnya.
Disaat Urwah berbincang-bincang pada majelis sang Khalifah, anak sulungnya diantarkan oleh pengawal untuk mengunjungi tempat dibagian istana mana pun yang dia suka. Hati anak sulungnya terpikat untuk melihat kuda-kuda khalifah. Dan,
‘Bughh!’
Seorang pengawal lari tergopoh-gopoh menghadap Khalifah juga Urwah,
“Wahai Khalifah, sesungguhnya telah terjadi begini dan begini,” Pengawal tersebut menceritakan detailnya, “dan sekarang, sang anak telah berpulang menghadap Allah Subhaanahu wa Ta’ala.”
Siapa yang mampu menduga? Ternyata dalam suka ria nya sang anak, salah seekor kuda menendangnya hingga terpelanting jatuh ketanah dan terinjak-injak oleh kuda yang sedang berlari di atasnya, dan saat itu juga, ia meninggal dunia. Dialah sang anak sulung Urwah bin Az-Zubair. Seorang anak kesayangan yang Urwah harapkan mampu menjadi penerus ilmunya. Maka mampukah kita membayangkan bagaimana reaksinya kala itu?
‘Urwah tersenyum dan ia berkata “Innalillahi wa inna illaaihi ra’jiun”
Maka saat itu juga Urwah sendiri yang turun keliang lahat untuk menguburkan anaknya. Setelah usai pemakaman, dalam dzikir dan ayat-ayat Al-Qur’an yang sedang ia jadikan permohonan agar Allah berikan kesabaran, tiba-tiba betisnya terasa begitu sakit yang luar biasa. Kakinya terserang penyakit langka yang memaksanya untuk harus diamputasi.
Berkatalah salah seorang ahli pengobatan kepercayaan Khalifah, “Ini harus diamputasi. Dan Wahai Imam, kami akan memberikanmu seteguk minuman yang memabukkan, agar sakit yang ditimbulkan takkan terasa olehmu.”
“Tidak” Jawab ‘Urwah, “Sungguh, aku tidak akan menggunakan sesuatu yang haram demi mendapatkan kesehatanku kembali. Dan aku tidak ingin salah satu bagian dari tubuhku hilang tanpa aku merasakan sakitnya. Ku serahkan semuanya kepada Allah.”
Maka setelah berapa tabib itu berunding, mereka memutuskan agar Khalifah memberikan beberapa orang untuk memegangi ‘Urwah ketika melakukan proses pemotongan kakinya yang manual.
Maa syaa Allah! Pemotongan kaki yang manual. Sekali lagi, manual.
Dengan cepat ‘Urwah berkata, “Aku tidak membutuhkannya, biarlah aku memalingkannya dengan dzikir dan tasbih ketika kalian memotongnya.”
Tak terbayang, bagaimana pedih dan perihnya daging yang dikupas tanpa bius sedikitpun. Tulang yang digergaji, dan darah yang terus mengucur darinya. Tak heran, beberapa kali ‘Urwah meringis kesakitan, “Hassi… Hassi..” katanya. Ia bermakna, suatu rasa sakit yang luar biasa terasa
Sesudah proses amputasi selesai, darah tak kunjung berhenti. Maka cara satu-satunya adalah dengan mencelupkannya pada minyak panas. ‘Urwah menyetujui. Saat kakinya dicelupkan kedalam minyak panas yang mendidih, ia menjerit, lalu pingsan, dan dikatakan bahwa ‘Urwah pingsan dalam waktu yang lama. Satu hari.
Hati ini rasanya mengerdil, sungguh.
Bagaimana, bagaimana jika kiranya ujian yang ‘Urwah hadapi menimpa seseorang diantara kita? Baru saja sesaat dia kehilangan anaknya, dia harus pula kehilangan kakinya dengan proses yang luarbiasa menyakitkannya. Disini, bukankah kita melihat, bagaimana kokoh jiwa haba yang beriman kepada-Nya? dan benarlah, bahwa Allah menguji hamba-hambaNya sesuai dengan kadar keimanannya. Cukuplah, ini sebagai bukti, betapa pancaran iman itu telah memenuhi seluruh penjuru ruang hati ‘Urwah bin Az-Zubair.
Sang Khalifah merasa kasihan dan ingin menghibur ‘Urwah. Namun ia bingung, ia tidak memiliki cara untuk menghiburnya. Namun cara Allah lebih menakjubkan, datanglah seorang lelaki buta kepada Khalifah, dan dia bercerita
“Wahai Amirul Mukminin!”, seru laki-laki buta tersebut, “dulu tidak ada seorang pun dari bani Abas yang lebih kaya dariku, lebih banyak anak-anak selain diriku. Aku tinggal disuatu lembah, dan banjir besar menerjang kaumku. Tak ada lagi hartaku, tak tersisa lagi anak-anakku kecuali hanya seorang bayi dan seekor unta.”
“Namun unta tersebut hendak melarikan diri, aku mengejarnya dan meninggalkan anakku. Maka kudengar teriakan bayi, ternyata anakku sudah berada di mulut serigala. Aku kembali hendak mengejarnya, namun sia-sia, serigala tersebut telah memakannya. Aku berbalik lagi, kukejar unta yang kabur, dan saat sudah dekat dengannya, salah satu kakinya menyepak wajahku. Hingga hancurlah keningku dan buta mataku.”
Sang Khalifah mendapatkan apa yang dia cari, Maha Baik Allah mengirim laki-laki untuk ‘Urwah. Sebab, ujiannya jauh lebih berat dari ‘Urwah. Diutuslah laki-laki tersebut kepada ‘Urwah untuk menceritakannya. Seusai ia bercerita, ‘Urwah berkata,
“Innalillahi wa inna illaaihi ra’jiun…”
Dalam do’anya, ‘Urwah berkata,
~
Inilah, ‘Urwah bin Az-Zubair. Inilah, kisah-kisah seorang hamba yang Allah berikan ujian hebat luarbiasa. Belum lagi, jika kita melihat ujian para Nabi.
Maka…. segala puji, hanya bagi Allah..
Inilah salah satu dari sekian rintik hujan yang Allah berikan, yang menyimpan berkah, menyimpan maksud dan tujuan.
Rasulullah ﷺ bersabda,
“Ujian itu akan selalu menimpa seorang hamba sampai Allah membiarkannya berjalan di atas bumi dengan tidak memiliki dosa.”
Dan cukuplah, segala ujian yang Allah berikan kepada kita menjadi sebaik-baiknya cara Allah membersihkan dosa-dosa kita. Sebab sungguh, apalah arti sakit di dunia jika dibandingkan dengan sakit di akhirat.. apalah arti tangis di dunia, jika dibandingkan dengan tangis karena siksa dan penyesalan di akhirat..
Mari, bukan lagi memfokuskan kepada apa yang telah hilang dan pergi. Melainkan, kepada apa yang masih Allah sisakan dari segala yang sudah tidak dimiliki. Betapa, betaaapa Allah Maha Baik. Dari sekian sakit yang mungkin bisa dihitung dengan hitungan jari, mampukah kita menghitung nikmat sehat yang sudah Allah beri? Mampukah kita mengkalkulasi, berapa banyak biaya oksigen yang Allah beri dari kita terlahir di muka bumi ini? Yakinkah.. kita merasa aman, jika tiba-tiba jantung ini bermasalah?
Maka bacalah, apa yang sudah tertulis dikalimat awal yang dikutip pada tulisan kali ini.. :’)
–Ibn Sabil