Bukan sebuah jaminan seseorang yang semakin bertambah usianya akan semakin matang dan dewasa cara berpikirnya, bukan jaminan pula ia akan baik dalam menentukan skala prioritasnya. Akan tetapi, semakin seseorang dewasa terkadang akan semakin banyak kekhawatirannya, dari mulai kapan menikah, punya anak, rumah dan kendaraan, atau mungkin kekhawatiran soal pencapaian lainnya.
Setidaknya, cobalah menepi dan menyendiri, sebentar saja. Berbicara dengan diri sendiri dan apa yang hari ini benar-benar kamu butuhkan dan apa yang hanya sekedar keinginan atau lapar mata.
Ada seseorang yang usianya beranjak mendekati 30 tahun, kekhawatirannya adalah soal jodoh yang sampai detik ini belum juga datang. Ada pula seseorang yang mungkin usianya 20 sampai 25 tahun yang mengkhawatirkan soal rezeki dan tempat tinggal. Bukan, bukan untuk membandingkan dengan orang lain, kok.
Hanya saja, kadang kita lupa bahwa setiap orang ada kekhawatirannya masing-masing, setiap usia juga ada gemuruhnya masing-masing, dan itulah yang sebenarnya sedang menjadi ujian untuknya. Apapun kekhawatiranmu hari ini, jika ia memang ditakdirkan untukmu maka ia akan tetap datang padamu. Yang menjadikan berbeda adalah bagaimana caramu mendapatkannya saja, melalui yang baik dan berkah, atau yang cepat tapi tidak ada ketenangan dan keberkahan.
Berapapun usiamu, jangan sampai tidak menaikkan pencapaian soal kedekatan dengan Allah. Kekhawatiranmu sebenarnya salah satu tanda ada jarak antara kamu dan Allah, entah dari seringnya kamu lalai atau berlebihan mengharap pada manusia. Semakin kamu dekat dan yakin dengan Allah, maka kekhawatiranmu pasti akan semakin mengecil, gelisahmu juga akan semakin hilang.
Usiamu hari ini berapa? Dan bagaimana pencapaianmu soal ibadah? Kalau soal dunia aku tidak bertanya, sebab prioritas dan hidup kita pasti berbeda :)
Selangor, 17 Desember 2021 (Menunggu selesai karantina)
@jndmmsyhd
Tulisan ini mungkin relevan untuk kamu yang:
Masih menjalani sebuah pendidikan–entah di sekolah atau di kampus, tapi sebenernya ngga bener-bener tau bagaimana pendidikan yang kamu jalani akan membantu mencapai apa yang kamu inginkan dalam hidup
Baru lulus sebuah jenjang pendidikan, tapi ngga tau apakah sebaiknya lanjut sekolah, kerja, memulai bisnis, atau ngapain
Udah selesai dengan pendidikan formal, mulai settle dengan kehidupan yang “sesungguhnya”, tapi ngerasa hampa–ngerasa “no one” karena ngga punya keahlian spesifik
* * *
Jadi, dalam perjalanan saya menggarap proyek Esensify, saya banyak baca buku dan banyak terinspirasi (tentu saja, sebab Esensify kerjaannya emang bikin intisari buku).
Salah satu buku yang lagi saya buatkan intisarinya adalah buku “Ultralearning” (bisa dibeli di Amazon)
Singkatnya, buku ini ngajarin prinsip, strategi, dan taktik yang bisa kita gunakan kalau kita mau belajar sebuah keterampilan atau ilmu dengan efektif, efisien, cepat.
Si penulis cerita, dia lulus semua ujian program sarjana computer science MIT dalam kurang dari setahun (yang wajarnya dicapai dalam empat tahun), tanpa pernah menjadi mahasiswa MIT. Dia belajar sendiri.
Ada juga beberapa cerita ultralearner lain, misalnya cerita tentang orang yang bikin game Stardew Valley sendirian. Dia sendiri belajar ngoding, pixel art, komposisi musik, sampai pemasaran game-nya. Kalau anak Steam pasti tau game ini.
Saya sadar bahwa gagasan “pendidikan formal udah outdated” bukanlah sesuatu yang baru.
Waktu kuliah dulu, ada diskusi bahwa pendidikan tinggi tidak berkontribusi signifikan menurunkan angka pengangguran meski angka orang yang mengenyam pendidikan tinggi naik.
Sebagian orang juga udah memulai homeschooling sejak beberapa tahun yang lalu. Namun, karena saya cukup konservatif kali ya, saya ngga pernah anggap itu alternatif yang serius untuk pendidikan.
Tapi, kali ini, kombinasi dari pengalaman saya selama berkarir dan insight dari buku ini membuat saya akhirnya mau bangun dan serius memikirkannya, paling engga untuk saya dan keluarga saya.
Untuk memberikan konteks yang lebih jelas, begini.
Di industri saya, tech startup, kita semakin ngga peduli dengan latar belakang pendidikan formal kandidat (kebetulan saya udah 6 tahun berurusan dengan hiring orang, jadi saya yakin dengan observasi ini). Banyak software engineer yang di atas kertas “cuma” lulusan SMK, tapi bisa mengimbangi bahkan outperform yang lulusan S1 ilmu komputer–misalnya. Ini riil. Makanya coding bootcamp semakin menjamur.
Kalau kita berorientasi pada hasil, kuliah S1 yang bisa makan waktu 3,5 sampai 6 tahun dan berbiaya puluhan-ratusan juta bisa dicapai dengan bootcamp 3-12 bulan dengan biaya belasan juta hingga “gratis” (bayar setelah lulus dan dapat pekerjaan).
Ini ngga cuma terjadi dalam konteks software engineer, tapi juga bidang spesifik lainnya, seperti data science, design, research, product management, dan bisnis.
Kata buku ini, masalahnya adalah pada “transfer of learning”, yaitu kemampuan mengaplikasikan informasi, strategi, keterampilan yang kita pelajari dalam konteks yang berbeda.
Seringkali pelajaran dalam pendidikan formal tidak berhasil membawa konteks-konteks dalam kehidupan nyata yang kompleks, kaya, dinamis.
Ada penelitian dari Howard Gardner dalam bukunya Unschooled Mind, yang kesimpulannya adalah para mahasiswa yang menerima nilai bagus pada pelajaran fisika seringkali tidak mampu menjawab pertanyaan mendasar yang dimodifikasi dari apa yang telah diajarkan.
Atau contoh lain yang saya yakin banyak yang ngalamin, di kelas Bahasa Inggris kita diajarin grammar dan vocabulary. Pas ujian nilainya oke. Udah pede tuh, berasa jago. Tapi, saat ketemu asing beneran dan harus berbahasa Inggris, bisa nggak kita berkomunikasi sama dia?
Ada beberapa strategi yang direkomendasikan sama buku ini, salah satunya adalah direct learning, di mana kita langsung terjun ke situasi di mana keterampilan itu akan digunakan.
Contoh yang paling mudah adalah belajar bahasa. Daripada sibuk bolak-balik baca buku tentang gramatika, mending kamu bikin komunitas di mana semuanya wajib ngomong pakai bahasa tersebut. Atau, lebih baik lagi, langsung berkomunikasi dengan native speaker-nya.
Contoh lain, kalau mau belajar ngoding website, daripada belajar HTML dan CSS secara terpisah dan masing-masing berdiri sendiri (terpisah dari konteks kebutuhan kita), mending kamu bikin proyek website di mana kamu terpaksa harus menggunakan HTML dan CSS sesuai dengan situasi di mana kamu membutuhkannya.
Ada juga strategi metalearning, di mana kita melakukan pemetaan bagaimana suatu keterampilan terstruktur dan gimana cara terbaik mempelajarinya. Singkatnya, mempelajari gimana caranya untuk mempelajari sesuatu.
Contoh yang saya sendiri praktekkin setiap saya mau menaikkan “level” diri saya sendiri di pekerjaan, saya pelajari job description level yang lebih tinggi dari saya dari berbagai perusahaan besar di Indonesia dan dunia. Saya sintesiskan, lalu saya petakan gimana caranya saya bisa deliver job description itu dan langsung saya praktekkin dalam pekerjaan saya (simpelnya). And it works!
Mungkin, hari ini, belum semua bidang ilmu/keterampilan bisa diperlakukan seperti ini, misalnya bidang dengan resiko tinggi seperti kedokteran atau penerbangan. Tapi kalau kamu ngga di bidang yang beresiko tinggi seperti itu, berbahagialah karena internet menyajikan kesempatan untuk belajar apapun.
Sebagaimana jawaban untuk banyak urusan hidup: tergantung.
Kamu mau mencapai apa dengan sekolah lagi?
Bagaimana sekolah lagi mengantarkan kamu semakin dekat dengan apa yang penting bagi hidup kamu?
(Dan anyway, apa yang sungguh-sungguh penting bagi hidup kamu? Sebaiknya udah bisa jawab ini dengan mantap)
Tentu saja, bisa jadi sekolah lagi relevan untuk kamu dan mengantarkan kamu ke tujuan kamu–apapun itu.
Yang ditawarkan oleh buku ini adalah semacam argumen bahwa kalau yang kamu cari adalah penguasaan atas suatu keterampilan atau ilmu, ada rute lain yang lebih efektif dan efisien daripada pendidikan formal.
Pengen bikin bisnis? Kita bisa belajar dengan cara bikin bisnis alih-alih ambil MBA. Pengen jadi programmer? Kita bisa belajar dengan mulai bikin software alih-alih mikirin untuk kuliah ilmu komputer.
Tentu, belajarnya dengan prinsip, strategi, dan taktik yang tepat, seperti yang ditawarkan oleh buku ini.
* * *
Ps: intisari versi lengkapnya akan tampil di Esensify setelah segala infrakstruktur dan kontennya memadai.
Sakit gigi, ngilu dan nyerinya bikin gak nyaman 🤕🤕 udah hampir dua hari tapi belum ada tanda tanda hilang nyerinya.
Ya Allaah yaa Syaafiii...sembuhkanlah gigi hamba ya Allaah 🥲😔🥺🥹
Justru melalui hari yang sibuk dan padat itu menyenangkan, seharusnya aku khawatir tapi aku lupa meluangkan waktu untuk itu.
Hari ini aku dikejutkan dengan pengakuan rekan kerjaku. Katanya seseorang mengatakan padanya agar jangan terlalu dekat denganku, karena.... bisa saja aku menjadi "musuh dalam selimut".
"Biasanya musuh itu muncul dari yang satu selimut dengan kita..."
"Maksud kamu apa? Asisten kelas aku?"
"Iya... gak usah terlalu dekat sama dia. Tapi yaa gak usah gimana gimana juga"
Itu kutipan percakapan yang kutangkap dari pengakuan rekan kerjaku.
Jujur mendengar hal itu, aku tertohok. Sedih. Dan tentunya langsung ingin muhasabah diri. Tapi mengapa rekan kerjaku mau menyampaikan hal ini kepadaku? Bukannya biasanya seseorang akan menyembunyikan hal semacam ini dari orangnya? Apa rekan kerjaku percaya padaku bahwa aku tidak akan seperti itu? Atau malah sebaliknya mau ngetes aku?
Gak pernah terlintas sekalipun dalam pikiranku untuk menjatuhkan seseorang, apalagi rekan kerja yang sekarang menjadi partnerku dalam mengurus kelas, malahan aku selalu berusaha untuk membantu dia, meringankan beban dia 🙂 ya karena memang itulah tugasku sebagai asisten.
Awalnya aku bertanya siapa yang mengatakan hal seperti itu pada rekanku, tapi beliau enggan menyebutkan. Aku pun tidak memaksakannya karena bukan bukan hak ku untuk memaksa, dan...
Aku merasa lebih baik untuk tidak mengetahui apapun. Jika aku tahu siapa dia, mungkin pandanganku pada orang tersebut akan berubah, mungkin saja aku jadi akan benci dia, yang padahal awalnya biasa saja.
Ah andai saja aku tak pernah mendengarnya, aku pasti tidak akan kepikiran hingga sekarang. Jujur perkataan "musuh dalam selimut" itu sungguh menikam dan menjadi beban buatku.
Aku serahkan saja pada Allah. Aku sudah capek, dan sebenarnya tidak ingin membuat tubuh bertambah letih dengan memikirkan penilaian orang lain.
Tapi aku penasaran, kenapa orang tersebut berpikir demikian?
Apa aku memang sejahat itu? 😔🥺
Aku jadi mengintropeksi, jangan-jangan selama ini aku memang jahat???? Hanya saja aku yang tidak sadar.
Aku jadi sibuk menerka-nerka, siapa dia yang berpikir seperti itu?
Dipikir-pikir aku sangat jarang berinteraksi dengan rekan kerja yang lain. Sangat jarang :))
Tapi aku memang memiliki satu "sahabat" rekan kerja yang menjadi tempatku membuang semua keluh kesahku, dan sebaliknya "sahabatku" itu juga sering berkeluh kesah dan bercerita padaku. Kami saling bercerita tentang semua hal-hal yang kami sukai dan tidak kami sukai di tempat kerja, termasuk orang-orangnya. Apakah itu normal? Pasti kita akan berada di situasi yang tidak mengenakkan kan di tempat kerja? Terlebih jika sedang kesal dgn teman kerja karena sesuatu, dan kesalnya itu juga hanya sementara, lalu memilih untuk menceritakan hal itu kepada "sahabat" untuk menampung keluh kesah.
Ah iya dipikir-pikir aku memang jahat. Memang jahat menceritakan keburukan seseorang di belakangnya. Walau hampir semua orang melakukannya, walau itu kelihatan normal, tapi tetap saja itu "jahat!"
Aku tidak mau berspekulasi kejauhan. Apa iya sahabatku sendiri yang membocorkan ceritaku? :)) tapi aku yakin sahabatku tidak melakukan hal itu. Wallahu a'lam :(
Ah rasanya tidak ada satupun manusia yang bisa dipercaya.
Termasuk aku mungkin. Sebagai orang yang ditumpahi dengan berbagai cerita dan rahasia oleh sahabatku, aku berusaha untuk menjaga itu semua. Benar-benar menjaganya.
Tapi untuk sekarang aku memilih untuk menyalahkan diri sendiri, lalu intropeksi diri.
Jangan lagi ya aku menceritakan keburukan orang lain, bahkan pada orang yang dianggap sahabat sekalipun. Cukup dipendam sendiri saja jika menemukan sesuatu dari diri seseorang.
Karena aku juga buka manusia sempurna, aku juga punya aib yang banyak :)) masa iya begitu mudahnya mengumbar aib seseorang, padahal aib sendiri tidak sudi diketahui orang.
Dear diriku. Itulah penilaian manusia tentang kamu, kamu yang merasa selama ini baik-baik saja, ternyata sangat buruk di mata orang lain.
Ingat. Jadikan kejadian hari ini sebagai pelajaran ya.
Dan jangan lupa untuk memperbaiki diri.
Terima kasih sudah menulis ini, diriku... semoga kamu paham dan tidak kepikiran lagi :((
Kota B. 18/9/23
tahun 2019 lalu pernah buat ini. tapi nyesel cuma sampe bulan april :( pas dibaca hari ini ternyata se-memorable itu :”) gaperlu penjelasan panjang-panjang untuk me-recall ingatan. cukup satu-dua-tiga suku kata udah cukup menggambarkan setiap harinya. coba lagi, yuk, bulan depan. di akhir tahun baru diposting. jadi keliatan deh apa yang sudah dilaku dan dirasa setiap hari selama setahun. biar punya rekam jejak. biar setiap hari punya headline-nya sendiri-sendiri. agar tak ada yang luput dari istilah sabar dan syukur setiap harinya walau hidup se-roller coaster dan se-surprising itu. 도전!
was was kalau udah muncul gejala batpil 🙃🙃 semoga segera reda dan gak lanjut ke gejala yg berat huhu, trauma pernah batpil berkepanjangan hampir 1 bulan baru sembuh 🤧
Tersenyumlah, ada hikmah di dalamnya. Jangan sampai kau berputus asa..
…akan aku sematkan pada awal tulisan kali ini.
Jangan, kumohon jangan. Jangan menggerutu pada takdir dan ketetapan yang ditentukan oleh Ar-Rahman. Jangan menyimpan banyak pertanyaan, jangan membiarkan singkatnya kalimat tanya ‘kenapa?’ membuat imanmu goyah dan runtuh sebab merasa Allah memberikan ujian yang terlalu berat. Terlalu besar, dan terlalu rumit untuk akhirnya ditawakkal-kan.
Seberapapun kita akan dibuat berkali-kali jatuh, akan selalu ada kekuatan untuk bangkit jika Allah menjadi tempat yang dituju. Sebagaimanapun kita akan dibuat berurai-urai air mata, akan selalu ada setitik cahaya, untuk akhirnya menyapu dan menyirnakan badai kesedihan di dalam jiwa. Jika masih Allah, yang menjadi tempat kita memuarakan segala rasa.
Saudaraku, apapun yang sedang menimpamu hari ini.. kuyakin, kau kuat. Lebih kuat dari sekuat yang kau kira. Meski aku tak mengetahui, bagaimana kau sedang dibuat berdarah-darah, aku yakin, in syaa Allah, selagi iman itu masih terpancar dari balik dadamu, kau mampu. Dan kau akan berhasil melewatinya. Ingatlah, tentang apa yang Allah katakan,
“Kamu benar-benar akan diuji pada hartamu dan dirimu” (QS. Ali ‘Imran 186)
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan ‘Inna lillahi wa inna illaaihi ra’jiun” (QS. Al baqarah 155-156)
Demikianlah..
“Seorang Mukmin pasti akan diuji pada harta, jiwa, anak dan keluarganya.”
Saudaraku, pernahkah kita mendengar kisah Urwah bin Az-Zubair dengan ujian yang Allah berikan kepadanya? Dan sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda,
“Sesungguhnya besarnya pahala tergantung dengan besarnya ujian. Sesungguhnya, apabila Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan mengujinya. Siapa yang ridha dengan ujian itu, maka ia akan mendapat keridhaan-Nya. Siapa yang membencinya maka ia akan mendapatkan kemurkaan-Nya”
Tersebutlah, pada suatu hari seorang Khalifah dari bani Umayyah, Al-Walid bin Abdul Malik, mengundang Urwah bin Az-Zubair untuk mengunjungi istananya di Damaskus. Adalah sebagai wujud sapaan cinta, untaian hormat dari sang Khalifah. Urwah memenuhi undangan tersebut dengan menggandeng anak sulungnya.
Disaat Urwah berbincang-bincang pada majelis sang Khalifah, anak sulungnya diantarkan oleh pengawal untuk mengunjungi tempat dibagian istana mana pun yang dia suka. Hati anak sulungnya terpikat untuk melihat kuda-kuda khalifah. Dan,
‘Bughh!’
Seorang pengawal lari tergopoh-gopoh menghadap Khalifah juga Urwah,
“Wahai Khalifah, sesungguhnya telah terjadi begini dan begini,” Pengawal tersebut menceritakan detailnya, “dan sekarang, sang anak telah berpulang menghadap Allah Subhaanahu wa Ta’ala.”
Siapa yang mampu menduga? Ternyata dalam suka ria nya sang anak, salah seekor kuda menendangnya hingga terpelanting jatuh ketanah dan terinjak-injak oleh kuda yang sedang berlari di atasnya, dan saat itu juga, ia meninggal dunia. Dialah sang anak sulung Urwah bin Az-Zubair. Seorang anak kesayangan yang Urwah harapkan mampu menjadi penerus ilmunya. Maka mampukah kita membayangkan bagaimana reaksinya kala itu?
‘Urwah tersenyum dan ia berkata “Innalillahi wa inna illaaihi ra’jiun”
Maka saat itu juga Urwah sendiri yang turun keliang lahat untuk menguburkan anaknya. Setelah usai pemakaman, dalam dzikir dan ayat-ayat Al-Qur’an yang sedang ia jadikan permohonan agar Allah berikan kesabaran, tiba-tiba betisnya terasa begitu sakit yang luar biasa. Kakinya terserang penyakit langka yang memaksanya untuk harus diamputasi.
Berkatalah salah seorang ahli pengobatan kepercayaan Khalifah, “Ini harus diamputasi. Dan Wahai Imam, kami akan memberikanmu seteguk minuman yang memabukkan, agar sakit yang ditimbulkan takkan terasa olehmu.”
“Tidak” Jawab ‘Urwah, “Sungguh, aku tidak akan menggunakan sesuatu yang haram demi mendapatkan kesehatanku kembali. Dan aku tidak ingin salah satu bagian dari tubuhku hilang tanpa aku merasakan sakitnya. Ku serahkan semuanya kepada Allah.”
Maka setelah berapa tabib itu berunding, mereka memutuskan agar Khalifah memberikan beberapa orang untuk memegangi ‘Urwah ketika melakukan proses pemotongan kakinya yang manual.
Maa syaa Allah! Pemotongan kaki yang manual. Sekali lagi, manual.
Dengan cepat ‘Urwah berkata, “Aku tidak membutuhkannya, biarlah aku memalingkannya dengan dzikir dan tasbih ketika kalian memotongnya.”
Tak terbayang, bagaimana pedih dan perihnya daging yang dikupas tanpa bius sedikitpun. Tulang yang digergaji, dan darah yang terus mengucur darinya. Tak heran, beberapa kali ‘Urwah meringis kesakitan, “Hassi… Hassi..” katanya. Ia bermakna, suatu rasa sakit yang luar biasa terasa
Sesudah proses amputasi selesai, darah tak kunjung berhenti. Maka cara satu-satunya adalah dengan mencelupkannya pada minyak panas. ‘Urwah menyetujui. Saat kakinya dicelupkan kedalam minyak panas yang mendidih, ia menjerit, lalu pingsan, dan dikatakan bahwa ‘Urwah pingsan dalam waktu yang lama. Satu hari.
Hati ini rasanya mengerdil, sungguh.
Bagaimana, bagaimana jika kiranya ujian yang ‘Urwah hadapi menimpa seseorang diantara kita? Baru saja sesaat dia kehilangan anaknya, dia harus pula kehilangan kakinya dengan proses yang luarbiasa menyakitkannya. Disini, bukankah kita melihat, bagaimana kokoh jiwa haba yang beriman kepada-Nya? dan benarlah, bahwa Allah menguji hamba-hambaNya sesuai dengan kadar keimanannya. Cukuplah, ini sebagai bukti, betapa pancaran iman itu telah memenuhi seluruh penjuru ruang hati ‘Urwah bin Az-Zubair.
Sang Khalifah merasa kasihan dan ingin menghibur ‘Urwah. Namun ia bingung, ia tidak memiliki cara untuk menghiburnya. Namun cara Allah lebih menakjubkan, datanglah seorang lelaki buta kepada Khalifah, dan dia bercerita
“Wahai Amirul Mukminin!”, seru laki-laki buta tersebut, “dulu tidak ada seorang pun dari bani Abas yang lebih kaya dariku, lebih banyak anak-anak selain diriku. Aku tinggal disuatu lembah, dan banjir besar menerjang kaumku. Tak ada lagi hartaku, tak tersisa lagi anak-anakku kecuali hanya seorang bayi dan seekor unta.”
“Namun unta tersebut hendak melarikan diri, aku mengejarnya dan meninggalkan anakku. Maka kudengar teriakan bayi, ternyata anakku sudah berada di mulut serigala. Aku kembali hendak mengejarnya, namun sia-sia, serigala tersebut telah memakannya. Aku berbalik lagi, kukejar unta yang kabur, dan saat sudah dekat dengannya, salah satu kakinya menyepak wajahku. Hingga hancurlah keningku dan buta mataku.”
Sang Khalifah mendapatkan apa yang dia cari, Maha Baik Allah mengirim laki-laki untuk ‘Urwah. Sebab, ujiannya jauh lebih berat dari ‘Urwah. Diutuslah laki-laki tersebut kepada ‘Urwah untuk menceritakannya. Seusai ia bercerita, ‘Urwah berkata,
“Innalillahi wa inna illaaihi ra’jiun…”
Dalam do’anya, ‘Urwah berkata,
~
Inilah, ‘Urwah bin Az-Zubair. Inilah, kisah-kisah seorang hamba yang Allah berikan ujian hebat luarbiasa. Belum lagi, jika kita melihat ujian para Nabi.
Maka…. segala puji, hanya bagi Allah..
Inilah salah satu dari sekian rintik hujan yang Allah berikan, yang menyimpan berkah, menyimpan maksud dan tujuan.
Rasulullah ﷺ bersabda,
“Ujian itu akan selalu menimpa seorang hamba sampai Allah membiarkannya berjalan di atas bumi dengan tidak memiliki dosa.”
Dan cukuplah, segala ujian yang Allah berikan kepada kita menjadi sebaik-baiknya cara Allah membersihkan dosa-dosa kita. Sebab sungguh, apalah arti sakit di dunia jika dibandingkan dengan sakit di akhirat.. apalah arti tangis di dunia, jika dibandingkan dengan tangis karena siksa dan penyesalan di akhirat..
Mari, bukan lagi memfokuskan kepada apa yang telah hilang dan pergi. Melainkan, kepada apa yang masih Allah sisakan dari segala yang sudah tidak dimiliki. Betapa, betaaapa Allah Maha Baik. Dari sekian sakit yang mungkin bisa dihitung dengan hitungan jari, mampukah kita menghitung nikmat sehat yang sudah Allah beri? Mampukah kita mengkalkulasi, berapa banyak biaya oksigen yang Allah beri dari kita terlahir di muka bumi ini? Yakinkah.. kita merasa aman, jika tiba-tiba jantung ini bermasalah?
Maka bacalah, apa yang sudah tertulis dikalimat awal yang dikutip pada tulisan kali ini.. :’)
–Ibn Sabil
Suatu malam aku terjaga bersama ayahandaku, lalu aku berkata: "Tidak adakah diantara mereka yang bangun malam untuk sholat 2 rokaat?"
Ayahku pun menyahut: "Wahai anakku, seandainya sekarang engkau tertidur, maka itu lebih baik bagimu daripada engkau terjaga dan berkomentar tentang mereka, keistiqomahanmu bukanlah pintu bagimu untuk berhak mengejek kesesatan selainmu,
Maka jangan engkau memandang mereka dengan angkuh, karena sebenarnya hati itu berada di antara 2 jari Allaah Ta'ala yang bisa Dia bolak balikkan dengan semauNya, karena itu di saat Dia memilihmu untuk mendapatkan hidayahNya, bukan berarti itu karena engkau istimewa atau karena ketaatamu kepadaNya,
Tetapi itu karena kasih sayangNya yang tercurah kepadamu yang bisa saja Dia cabut kembali darimu dalam sekejap, oleh karena itu jangan tertipu oleh amal ibadahmu, dan jangan memandang rendah orang yang terjatuh dalam kesesatan.
Kalau bukan karena rahmat Allaah kepadaMu, pastilah kamu terjerumus sebagaimana mereka, jangan pernah sekali-kali kamu kira bahwa kekokohan istiqomahmu adalah salah satu buah dari prestasimu, karena Allaah Ta'ala berfirman kepada NabiNya (yang prestasinya memukau):
"Dan sekiranya Kami tidak memperteguh (hatimu), niscaya engkau hampir saja condong sedikit kepada mereka."
(QS. Al-Isra': 74)
Lalu bagaimana degan dirimu? Anakku, berkata Umar bin abdul Aziz Rahimahullah, "Kami mendapati para salafus shaleh, mereka tidak menganggap bahwa ibadah (hanya) terletak pada sholat malam dan puasa, akan tetapi ibadah yang sebenarnya, terletak pada sikap menahan diri dari mencela orang lain,
Karena betapapun banyak pahala puasa dan sholat dari mereka yang mengerjakannya, dia tetap akan menjadi orang yang bangkrut di hari kiamat kalau tidak menjaga lisannya dari mencela orang lain."
Syekh Abu Ishaq Al-Syairazy rahimahullah