a small collection of things to remember.
1. your life can look so different, so much better, in just a few months. keep going.
2. read at least a book a month
3. list 5 things that make you happy every day
4. create playlists for every mood
5. learn a new language through consistent practice every day
6. research new topics that interest you, how about coding, music, or graphic design?
7. compliment people frequently!!
8. don’t be afraid to introduce yourself to someone new, it can be online as well
9. try to notice the sky and the air and the flowers, pay attention to your surroundings
10. focus on one thing at a time. just one thing. that’s what prioritization really is.
11. collect quotes that motivate you
12. try journaling, or just writing down all the funny quotes your friends say
13. you teach people how to treat you by what you tolerate
14. always have a bottle of water by your desk. when you get the urge to check your phone, keep your hands busy by drinking water instead.
15. don’t be afraid of bad days; they happen and you shouldn’t blame yourself for it
16. when you’re not doing great: open your curtains, take a shower, stretch, go for a walk. let your mind wander, rest and refresh.
17. know what you can and cannot control.
18. make a list of reasons to keep going, to keep you motivated. whenever you feel down, read it and add another one.
19. more cozy study dates in cafes!! (still abiding distancing rules in your country ofc)
20. and above all: stay hydrated!!
[ for more posts like these, visit my instagram @softlyshade ]
Blue Mosque - Istanbul, Turkey.
ISTIRAHATLAH BILA KANTUK BERAT MENYERANG PADA SAAT SHALAT | Hadist #120
وَعَنْ عَائشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ يُصَلِّي، فَلْيَرْقُدْ حَتَّى يَذْهَبَ عَنْهُ النَّوْمُ، فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا صَلَّى وَهُوَ نَاعَسٌ لَا يَدْرِي لَعَلَّهُ يَذْهَبُ يَسْتَغْفِرُ فَيَسُبُّ نَفْسَهُ « مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Dari Aisyah radhiyallahu 'anha bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika salah seorang di antara kalian mengantuk ketika sedang shalat, hendaknya ia tidur sehingga rasa kantuknya hilang. Sebab, jika salah seorang di antara kalian shalat dalam keadaan mengantuk, maka ia tidak mengerti apa yang ia ucapkan, mungkin ia bermaksud memohon ampunan, tetapi dia justru mencela dirinya sendiri.”
(HR. Al-Bukhari, no. 212 & Muslim, no. 786)
FAEDAH HADIST
Hadist ini memberikan faedah-faedah berharga, di antaranya:
Rasa “mengantuk” adalah putusnya konsentrasi seseorang karena datangnya rasa sangat ingin tidur, maka dari itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan bagi orang yang mengalaminya ketika shalat hendaknya ia membatalkan shalatnya, tidak meneruskan shalatnya dalam kondisi demikian. Sebab, jika salah seorang di antara kalian shalat dalam keadaan mengantuk, maka ia tidak mengerti apa yang ia ucapkan, mungkin ia bermaksud memohon ampunan, tetapi dia justru mencela dirinya sendiri.” Mungkin ia ingin berdoa, “Ya Allaah ampunilah dosa-dosaku!.” ia salah jadi mencela dirinya dengan dosa ini, atau ingin memohon surga tetapi salah menjadi neraka, ingin memohon petunjuk tetapi salah menjadi kesesatan. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk segera tidur jika berada dalam kondisi demikian.
Pelajaran di balik masalah ini adalah bahwa setiap orang memiliki kewajiban memenuhi hak dirinya. Jika ia memaksakan dirinya untuk menunaikan suatu ibadah di luar kemampuannya berarti ia telah menzalimi dirinya sendiri, maka janganlah lengah sehingga kurang atau berlebihan.
Tidak disukainya memaksakan diri dalam ibadah hingga mendatangkan kesulitan dan bahaya.
Wajibnya khusyuk dalam shalat dan menghadirkan hati dalam setiap ibadah serta menjauhi segala sebab yang dapat menghilangkan 2 hal ini; rasa khusyuk dan hadirnya hati. Dalam hal ini terkandung kaidah Islam yang mulia; menolak mudarat lebih didahulukan dari mendapat kemaslahatan.
Kesederhanaan dalam ibadah dengan memperhatikan kualitasnya serta menjauhi sikap ghuluw dalam ibadah adalah perkara yang dituntut.
Mengambil kehati-hatian untuk sebuah alasan pada persoalan yang belum jelas dan masih berupa kemungkinan (setengah-setengah/ragu).
Wallahu Ta’ala A’lam.
Referensi Utama: Syarah Riyadhus Shalihin karya Syaikh Shalih al Utsaimin, & Kitab Bahjatun Naazhiriin Syarh Riyaadhish Shaalihiin karya Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilaliy.
Ustaz Fadly Gugul S.Ag
restart, and heal
“The winner is the one who sells his world for his hereafter.”
— Ali ibn Abi Talib (Radhiallahu Anhu)
Nggak semua kesempatan bisa kita dapatkan, kalau kemudian ada orang yang membukakan atau memberi kesempatan. Kata guruku, coba aja dulu meski kita nggak yakin, kerjakan semaksimalnya kita, soalnya kalau orang lain berani ngebukain dan ngasih kesempatan itu tandanya mereka bisa melihat sesuatu di dalam diri kita yang gak kita sadari, yang kita sendiri juga gak tahu. Tapi, mereka percaya dan berani bertaruh atas kesempatan yang diberikan itu. Cobalah untuk berupaya sekuat tenaga, tunjukkan upaya yang maksimal, karena itu yang bisa kita kendalikan, soal hasil biar urusan nanti. Paling tidak, kita menunjukkan bahwa kita sesungguh-sungguh itu, kita berusaha menjaga kepercayaan yang diberikan, kita nggak sia-siain kesempatan yang udah dibukain, yang udah dikasih.
Sebab, banyak dari mereka yang membuka dan memberi kesempatan itu tidak hanya melihat hasilnya, tapi juga upaya kita. Nggak menutup kemungkinan, besok-besok kita akan terus diberikan kesempatan baru. Kesempatan yang akhirnya membuat kita berkembang melebihi apa yang kita pikirkan selama ini. Karena keterbatasan pengetahuan kita melihat diri sendiri.
Suatu hari kita bisa menjadi orang yang memberi kesempatan, membukakan jalan bagi orang lain. Kalau saat kita, kita sedang dibukakan jalannya. Jangan tutup jalan itu dengan kemalasan, nggak niat ngerjainnya, ngilang, menyalah-nyalahkan orang lain, dan berbagai hal yang membuat pintu kesempatan berikutnya tidak lagi terbuka. Pada kondisi yang tertekan, biasanya orang akan menunjukkan bagaimana respon dan coping mechanism nya. Kalau respon kita merugikan, coping mechanism kita tidak memecahkan masalah. Barangkali sudah cukup. Kapasitas kita memang hanya sedemikian aja, nggak bisa lebih dari itu. Kalau mau lebih dari itu, maka kita harus bisa mengelola diri kita sendiri dengan lebih baik terlebih dahulu.
Kalau kita berharap memegang hal-hal besar, maka risiko - konflik - dan berbagai macam tantangannya akan semakin besar. Kalau ingin berkembang lebih jauh, pasti nggak enak, nggak nyaman, gak menyenangkan sama sekali.
Bismillah.
Baru-baru ini saya menyadari suatu hal: jika kita bisa memandang keluarga sebagaimana kita memandang sebuah perusahaan, maka mengelola keluarga ternyata bisa lebih challenging daripada mengelola perusahaan.
Di sisi lain, jika kita mau serius mengelola keluarga seserius kita mengelola perusahaan, maka reward yang akan kita rasakan juga akan jauh lebih besar dibanding jika kita mengelolanya “ala kadarnya” (seperti yang kita lakukan sekarang ini, mungkin).
Mari kita perhatikan beberapa aspek pada perusahaan yang bisa kita jadikan analogi terhadap keluarga: mengapa suatu perusahaan lahir, bagaimana suatu perusahaan dijalankan, dan bagaimana perusahaan berekspansi.
Pertama, mengapa suatu perusahaan lahir.
Paling tidak, biasanya ada dua alasan yang melatari lahirnya suatu perusahaan: (1) motif mencari keuntungan dan (2) hasrat ingin menyelesaikan suatu masalah atau ingin memberikan nilai tambah pada suatu hal.
Seberapa mungkin perusahaan yang lahir dengan proposisi lemah seperti “Ya, karena saya harus membangun perusahaan? Masa tidak? Emang saya harus ngapain lagi?” akan menjadi perusahaan yang sejahtera dan berumur panjang? (Sangat kecil kemungkinannya menurut common sense saya–tapi mungkin saya salah).
Sekarang coba kita jadikan ini analogi terhadap keluarga: mengapa suatu keluarga lahir. Kira-kira, keluarga seperti apa yang akan terbentuk jika alasan pernikahan dua insan yang membentuknya adalah, “Ya, karena saya harus? Karena semua orang melakukannya? Karena sudah saatnya? Masa ngga nikah?”.
Bahkan, menurut pendapat saya, alasan “Ingin beribadah” atau “Menunaikan sunnah Rasul” masih termasuk alasan yang terlalu general, terlalu luas, sehingga tidak menciptakan sense of direction–kita tahu tujuan spesifik kita, dan kita bisa mengukur di mana posisi kita saat ini relatif terhadap tujuan itu. Akibatnya, kehidupan setelah pernikahan seperti menaiki sekoci di lautan lepas tanpa kompas dan dayung, terombang ambing begitu saja, hanya mengandalkan takdir untuk bisa menemukan daratan.
Alih-alih, saya pikir sebaiknya dua insan yang mau menikah punya proposisi yang kuat untuk melakukan pernikahan. Meski trigger-nya adalah let’s say “cinta”, tapi ngga ada salahnya kita berefleksi dan menyepakati apa yang mau kita capai dengan pernikahan ini.
Mungkin sebagian dari kita dulu punya hal seperti ini (”Visi pernikahan: mengubah dunia menjadi lebih baik”), sayangnya di tengah perjalanan kita terdistraksi oleh berbagai hal lalu lupa–sebagaimana perusahaan yang sudah lahir, mulai established menjalani business as usual, lalu lupa akan true north star-nya.
Kedua, bagaimana suatu perusahaan dijalankan.
Katakanlah perusahaan mulai tumbuh. Hal-hal yang harus diurusi semakin banyak, sehingga perusahaan mulai hiring dan menempatkan orang dengan peran-peran spesifik.
Ada yang di-assign khusus mengurusi keuangan, ada yang khusus mengurusi manusia (HR), dan seterusnya. Semakin mature perusahaan, semakin banyak role “aneh” yang terbentuk dan memerlukan orang untuk memikirkannya, katakanlah impact manager, growth hacker, dan lainnya.
Dalam konteks perusahaan, hal ini gampang gampang susah. Tidak mudah, tapi selama ada uang dan ada leadership yang bagus, maka hal seperti ini bisa dikelola.
Dalam konteks keluarga, hal seperti itu susah susah gampang (susahnya 2x), karena kita tidak bisa hiring begitu saja. Beberapa tugas mungkin kita bisa assign ke orang lain, misalnya urusan beres-beres rumah ke asisten rumah tangga, urusan ngasuh anak sebagian kita berikan ke daycare/pengasuh/orang tua, urusan makanan kita assign ke GoFood. Tapi banyak sekali hal yang tidak bisa kita assign ke orang lain.
Urusan pengelolaan keuangan harus kita kerjakan sendiri (perencanaan, monitoring, evaluasi, dll) (kecuali kamu udah kaya dari dulu dan tinggal bayar financial advisor dan ikuti advice-nya, tapi saya ragu juga apakah kita bisa ikuti secara mindlessly).
Belum lagi urusan infrastruktur (sewa atau beli rumah? mobil, laptop, internet, mesin cuci, dll), itu semua harus direncanakan pengadaannya dan di-maintenance.
Belum lagi urusan pendidikan, baik formal maupun nonformal, bagi diri kita, pasangan kita, dan anak kita–tumbuh kembangnya, lingkungan pertemanannya, lingkungan sekitarnya (polusi? aman dari kejahatan? dll), dan banyak lagi. Variabelnya kompleks.
Belum lagi urusan hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan tetangga, hubungan dengan keluarga besar. Tidak bisa di-outsource.
Semua kompleksitas itu harus kita handle dengan dua kepala saja, kepala kita dan pasangan kita. Ini seperti punya perusahaan yang manajemennya cuma dua, lalu dua orang ini punya titel CEO, CFO, COO, CHRO, PR, dan berbagai peran lain secara horizontal dan vertikal.
Gimana tuh? Susah ngga?
Susah, kalau kita mau mengelola keluarga secara mindful, intensional, diniatin.
Gampang, kalau kita mau mengelola keluarga secara que sera sera, whatever will be will be, jadi apapun juga tidak peduli, tahu-tahu tua dan wafat.
Ketiga, bagaimana perusahaan berekspansi.
Suatu perusahaan bisa berekspansi jika model bisnis dasarnya sudah proven. Idealnya sih sudah profitable, walaupun dengan lahirnya tech startup kita melihat realitas lain (emang para unicorn itu udah profitable?).
Mereka sudah tidak struggle dengan urusan dasar lagi (highlight this, ini bottom line-nya). Mereka sibuk delivering more and more values untuk para pelanggan dan para pelanggan potensial.
Contohnya Google (kalau yang ini sih udah profitable). Saking banyaknya duit dia, dia punya ruang yang sangat besar untuk melakukan berbagai eksperimen yang secara bisnis ngga jelas apakah akan mendatangkan keuntungan bagi perusahaan atau tidak. Disposable money, burn-able money.
Kalau eksperimennya gagal yowes, move on. Kalau berhasil ya bagus, bisa jadi sesuatu. Misalnya, mereka bikin autonomous car yang mungkin baru kerasa manfaatnya 20 tahun mendatang, atau mungkin ada yang masih inget Google Glass (yang nampaknya muncul terlalu dini), atau Google Loon yang menyediakan akses internet di area rural pake balon udara.
Kalau kita bawa ke konteks keluarga, ini adalah keluarga yang udah deliver values to the people outside their family. Entah mereka bikin buku yang mengubah hidup orang, atau bikin workshop mengenal tujuan hidup kayak temen saya, atau membuat lapangan pekerjaan buat warga sekitar, dan lainnya.
Apakah mereka sudah selesai dengan berbagai urusan mendasar? Ini pertanyaan yang tricky. Memangnya kapan urusan mendasar bisa dikatakan selesai? Sulit menjawabnya.
Pendapat saya adalah apapun kondisi “urusan mendasar” mereka, mereka sudah mampu memfokuskan perhatian dan energi mereka pada hal-hal di luar urusan mendasar itu (baca lagi bottom line di atas).
Mungkin secara materil uangnya ngga banyak. Mungkin uang kamu lebih banyak malah. Tapi mereka ngga ambil pusing dan ngga terlalu fokus di situ karena somehow mereka merasa aspek itu cukup lah.
Mungkin secara infrastruktur ngga sememadai infrastruktur kamu. Mungkin kamu ngga akan betah tinggal di rumah mereka. Tapi bagi mereka itu cukup, “let’s put our attention on something else”.
Kesimpulan.
Mungkin banyak dari kita yang mulai menjalani kehidupan keluarga secara business as usual. Berpindah dari satu gajian ke gajian lain, dari satu “pengen beli ini” ke “pengen beli ini” yang lain. Seriously, do you want to live your life like that forever?
Mungkin banyak juga dari kita yang lebih excited mengurusi pekerjaan di kantor, di kampus, atau di manapun tempat kita berkarya/mengabdi. Urusan rumah kita anggap membosankan, kurang menantang, tidak perlu mengeluarkan upaya terbaik kita (diajak ngobrol soal rumah sama pasangan, dalam hati kita “Apasih?”, “Yaudah nih uang biar cepet”). Padahal bahkan seorang CEO belum tentu bisa mengelola rumah tangganya sendiri sebaik ia mengelola perusahaannya (so probably it’s not as easy-boring as it seems).
Mungkin juga banyak dari kita yang menengok rumput tetangga via Instagram lalu muncul desiran “ingin seperti keluarga X tapi apalah daya takdirku begini”, lalu malah muncul penyakit hati iri dengki dan kawan-kawannya. Atau malah kita tidak mau kalah lalu berusaha mengimpresi orang-orang tentang keluarga kita, lalu kita menjadi budak citra, likes, dan pujian. Menderita ngga sih?
Mungkin dimulai dengan perspektif yang tepat, institusi yang namanya keluarga ini bisa jadi sarana aktualisasi diri kita yang utama. Mungkin dia bisa menjadi dongkrak atau bahkan rocketship bagi kita untuk jadi seseorang yang signifikan hidupnya.
the only one teman terbaik di tempat kerjaku resign. Hal ini membuatku sedih. Dia adalah teman yang sangat berharga.
Sukses dimanapun th 🙂🙂🥺 semoga Allah selalu menjagamu 🌹
Ada banyak emosi yang terus menerus diarahkan kepada Rasulullah. Makian, kemarahan, perendahan harga diri, pembunuhan orang tersayang, tuduhan tidak benar, pemboikotan satu kaum, penganiayaan verbal dan fisik, serta perilaku biadab lainnya, nggak mungkin hal-hal kaya gitu nggak meninggalkan bekas trauma.
Aku, kalau jadi Rasulullah, kayanya nggak tahan untuk tetap diam. Kita sama-sama tahu, Rasulullah juga manusia, punya hati dan emosi untuk merasakan. Tapi kenapa, hal-hal traumatis itu nggak jadi penyakit hati? Nggak jadi bikin pengen balas dendam?
Rasulullah rutin me-release semua rasa sedih, rasa nggak terima, rasa pengen membalas, dan kemarahan itu dengan tahajjud. Beliau juga rutin membersihkan dirinya dari penyakit hati dengan istighfar. Beliau mampu menahan diri dari ledakan emosionalnya. "Alarmnya" nggak sesenggol bacok itu sebab ditahan oleh pemahaman yang baik tentang Allah dan manusia, dan hatinya tidak sempit karena ucapan-ucapan manusia.
Kenapa? Shalih artinya lurus, konsisten. Benar pikirannya, benar ucapannya, benar tindakannya. Ketiganya selaras dan sinkron, dan da'i memang seharusnya begitu. Mereka tidak akan mengucapkan apa yang tidak mereka perbuat.
Dan itu dimulai dengan tahajjud, yakni ibadah yang dilakukan di saat sendiri. Saat kita memang hanya ingin dilihat oleh Allah saja. Kalau udah jujur kepada Allah, artinya akan punya integritas untuk kemudian jujur dalam tindakan-tindakan yang akan dilihat manusia, sehingga meskipun tindakannya dilihat manusia, mereka tidak melakukannya untuk mengesankan manusia.
Maka diam itu benar-benar emas ketika hati ingin menjelaskan berlebihan hanya untuk membersihkan nama baik kita. Ketika kita mungkin ingin mengeluarkan muntahan emosional yang justru kadang malah merugikan martabat kita. Hanya orang-orang yang bertahajjud yang mampu tetap menahan diri dan memelihara kehormatannya saat satu dunia menyalahpahami dan mendzoliminya.
Diamlah, biarkan kekuasaan Allah yang bicara untuk meluruskan pemikiran dan ucapan orang lain yang bengkok. Diamlah, yang terpenting adalah kedudukanmu di hadapan Allah, bukan di hadapan manusia. Diamlah, manusia tidak menginginkan penjelasan darimu, tetapi Allah senantiasa menginginkan perbaikan darimu. Manusia mencemarkan nama baikmu sedangkan Allah selalu menjaga aib-aibmu.
— Giza, kali ini tolong lanjutkan perjalanan sambil hanya ingin dilihat Allah