Menahan Untuk Tidak Membenci Orang = Mendamaikan Diri Sendiri

menahan untuk tidak membenci orang = mendamaikan diri sendiri

More Posts from Drinkwatersoon and Others

2 years ago

RWC #1 What are some of the challenges you face during fasting month and how do you overcome them?

Baiklah, aku memutuskan untuk mengikuti challenge ini agar aku lebih mindful dalam menjalankan ibadah ramadan kali ini. Kupikir dengan menulis seperti ini aku bisa mengidentifikasi dan menggali lebih dalam lagi, sebenarnya perspektifku tentang ramadan itu bagaimana? apa yang kurasakan? dan apa yang aku mau dari ibadah ramadan kali ini?

jujur, semakin tahun berganti, semakin semarak ramadan itu kian meredup untukku.

Aku masih ingat, saat aku SD, tiga bulan sebelum ramadan datang saja hawa-hawa kegembiraan ramadan sudah mulai terasa, ketidaksabaran mencicipi ramadan sudah meletup-letup, orang-orang di sekitarku sudah mulai mempersiapkan diri.

Mungkin waktu itu, aku tidak sabar menunggu momen-momen ramadan yang selalu berkesan di masa kecilku. Libur sekolah yang panjang, masakan-masakan istimewa dan terniat yang selalu dibuatkan oleh mama, jalan pagi setelah shalat shubuh berjamaah di masjid, berpesta kembang api dan petasan ba'da magrib, berebut tanda tangan penceramah, dan shalat tarawih di bawah bintang yang kerlap kerlip.

Aku dan perspektif masa kecilku tentang keistimewaan ramadan jauh dengan esensi ramadan yang sebenarnya, yang tak pernah aku pelajari dan dapatkan sebelumnya.

Mungkin itu sebabnya, semakin dewasa semakin semarak ramadan itu kian meredup, karena kebiasaan-kebiasaan ramadan yang dulu aku saksikan saat aku kecil itu sudah tak ada lagi. Anak-anak jaman sekarang merayakan ramadan dengan cara yang berbeda, tunggu... apa mereka merayakannya?

Kemudian aku bimbang sendiri dengan perasaan yang aku rasakan tentang ramadan. Mengapa ia kini tak istimewa di hatiku? mengapa semangat menggebu-gebu untuk menyambutnya tidak hadir? oh tidak, tentu saja ini kesalahan yang sangat fatal.

Hari ini, saat aku menulis tulisan ini, aku menyadari satu hal. Ramadan yang kian redup di hatiku disebabkan karena aku tidak mengenal ramadan itu sendiri. Ramadan yang kian redup karena mendapati diriku sendiri berteman sepi di perantauan, tanpa keluarga dan momen-momen istimewa saat aku bersama keluarga.

Kau tahu kendala-kendala apa saja yang aku hadapi pada ramadan beberapa tahun ke belakang ini?

Bukan. bukan lapar yang menggoda imanku untuk membatalkan puasa di tengah jalan. Menurutku aku sangat pandai dalam menahan lapar, apalagi menahannya di bulan ramadan.

Hanya saja, hatiku merasakan kekeringan di lembah yang harusnya membuat hati kian tersuburkan oleh suasana iman dan ketaatan ramadan. Kenapa? hatiku meringis.

Ya aku tak mengenal ramadan seutuhnya. Yang kutahu ramadan hanyalah rutinitas tahunan. Sebatas menahan lapar dari waktu imsak sampai waktu berbuka. Hanya saja ibadahku di bulan ramadan yang harusnya optimal malah terlalaikan. Sudah berapa kali ramadan kulalui namun aku belum pernah khatam Alquran padahal aku tahu betul ramadan adalah bulannya Alquran. shalat tarawih belum pernah berhasil aku kerjakan hingga garis finish. Bahkan malam laylatul qodr yang banyak orang ingin meraihnya tidak menjadi motivasi untukku untuk mencarinya juga. iya selalai itu aku.

Aku belum memaknai ramadan dengan seutuhnya, karena itu aku membiarkan diriku tenggelam dengan kelalaianku.

Ramadan, bulan yang agung. Aku sering dengar ini. Tapi tak pernah mencari apa yang membuat ramadan itu diagung-agungkan?

Malam ini aku tidak sengaja mencari tahu. Ketidaksengajaan yang indah sungguh. Karena akhirnya aku merasakan kesyukuran yang tidak terhingga. Ramadan datang, sebagai hadiah dari Allah untukku.

Agar aku bisa "membersihkan" diriku

Agar aku bisa "mendidik" jiwaku

Agar aku dapat menuai sesuatu yang nilainya berlipat ganda, agar aku mendapatkan keuntungan yang banyak dan besar.

kita diibaratkan pedagang, dan yang membeli dagangan kita adalah Allah

barang dagangan kita adalah amal shalih, dan bayarannya adalah syurga.

tidak ada satupun "perniagaan" yang paling menguntungkan selain "perniagaan" yang kita lakukan di bulan ramadan. Karena keuntungannya benar-benar Allah lipat gandakan.

Aku baru tahu, amalan di bulan ramadan yang kita kerjakan jika diterima oleh Allah maka amalan tersebut akan membuat mizan (penimbang amal) hampir jebol saking beratnya nilainya. Padahal mizan itu begitu megah, sebanding dunia dan isinya.

Aku baru bisa merasakan kehangatan dan keindahan ramadan ketika aku tahu betapa berharganya ia. Sesuatu yang harganya mahal pasti akan kita jaga, kita rawat, kita apik-apik, kita tidak mau satu noda kecil atau kerusakan kecil terjadi pada sesuatu tersebut.

dengan mengetahui dan menyadari betapa berharganya ramadan yang hanya berlangsung selama 30 hari dalam setahun, semoga aku lebih bisa meghargai setiap detak yang ada di bulan ini untuk kugunakan hanya dengan sangat optimal. karena tidak semua manusia diberikan kesempatan yang lebih banyak untuk mencicipi bulan ramadan.

intinya...

Apa kendalaku di bulan ramadan? belum kuat istiqomah tilawah dan mengkhatamkannya, belum bisa menyelesaikan tarawih hingga akhir, dan tidak berusaha menggapai malam laylatul qadr

bagaimana aku mengatasi kendala tersebut? dengan mengenal dan memaknai esensi ramadan.

#RWCday1

3 years ago
أفلا يتدبرون القرآن
أفلا يتدبرون القرآن
أفلا يتدبرون القرآن
أفلا يتدبرون القرآن
أفلا يتدبرون القرآن
أفلا يتدبرون القرآن
أفلا يتدبرون القرآن
أفلا يتدبرون القرآن

أفلا يتدبرون القرآن

آداب تلاوة القرآن👇

1 year ago

Capek banget. haha, capek jadi orang yang tidak dianggap dan terlupakan terus :))

4 years ago

Renungan Pribadi Soal Takwa

Disclaimer: ini bukan tulisan edukasi tentang konsep takwa. Ini sepenuhnya refleksi pribadi saya. Tidak disarankan untuk menjadikannya referensi. Mohon diproses dengan pikiran sendiri, tidak ditelan bulat-bulat. Jika tergelitik, silakan lakukan penelitian dan perenungan sendiri.

* * *

Pasti kita udah sering denger terminologi “takwa”.

Kalau ditanya apa itu takwa, kebanyakan orang akan menjawab: “Menaati segala perintah-Nya, menjauhi segala larangan-Nya.”

Saya ngga pernah puas dengan definisi itu. Maaf ya, izinkan saya jujur secara brutal, definisi itu normatif dan ngga inspiring. Ngga menggugah selera untuk bersemangat mendapatkannya. (Pahami bahwa saya bukan bilang takwa itu ngga menarik, tapi pemaknaan/penafsiran kita atas konsep takwa yang belum memuaskan).

Iya, menurut saya, kalau sesuatu itu penting menurut sunnatullah (atau hukum alam, versi bahasa universalnya), maka secara alamiah pasti kita akan tertarik ke arah sana. Maka, saya curiga, jangan-jangan ada definisi yang lebih dalam, lebih menggugah, lebih membuka kesadaran daripada yang diajarkan di sekolah-sekolah.

Misalnya, siapa sih orang waras, berakal yang dalam hidupnya ngga pernah bertanya “Kenapa aku ada?”, “Untuk apa aku ada?”, “Apa yang penciptaku inginkan dengan menciptakan aku ke alam ini?”. Saya percaya ini pertanyaan yang universal, yang kalaupun ngga diajarkan di sekolah, secara alamiah kita akan mempertanyakan ini, cepat atau lambat.

Pertanyaan-pertanyaan itu penting. Mereka akan mendorong kita mencari Tuhan, memahami diri kita, mencari petunjuk dari Sang Pencipta–yang semua jawabannya sudah dipersiapkan oleh Allah untuk kita temukan. Karena itu, Allah sudah tanamkan stimulusnya berupa rasa penasaran yang instingtif. Kita tertarik untuk mengenali pencipta kita secara alamiah.

Nah, takwa itu disebutkan di berbagai ayat Al-Quran, menjadi tujuan dari berbagai perintah–yang salah satunya puasa di bulan Ramadhan, maka pastinya penting. Kalau penting, pastinya insting alamiah kita akan bereaksi secara positif (tergugah, terinspirasi) jika kita memahaminya dengan cara yang seharusnya.

Temuan Saya Akan Makna Takwa

Singkat cerita, saya menemukan definisi takwa yang memuaskan bagi hati saya. Saya menemukannya dalam tafsir Al-Quran “The Message of the Quran” karya Muhammad Asad. Definisinya:

Kesadaran akan kemahahadiran-Nya dan keinginan seseorang untuk membentuk eksistensinya berdasarkan kesadaran ini.

Atau sederhananya, takwa adalah “kesadaran akan hadirnya Allah”.

Buat saya, definisi ini lebih memuaskan daripada yang selama ini saya terima. Coba kita tempatkan kedua definisi takwa dalam konteks perintah puasa Ramadhan.

Dalam definisi takwa pertama, kita diwajibkan berpuasa dengan tujuan menaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.

Dalam definisi takwa kedua, kita diwajibkan berpuasa dengan tujuan agar kita selalu sadar akan kehadiran Allah.

Kita tempatkan juga kedua definisi takwa itu dalam konteks ayat permulaan Al-Baqarah.

Dalam definisi pertama, Al-Quran adalah petunjuk bagi orang-orang yang menaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, yang menginfakkan sebagian rezeki yang Allah berikan.

Dalam definisi kedua, Al-Quran adalah petunjuk bagi orang-orang yang sadar akan kehadiran Allah. Yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, yang menginfakkan sebagian rezeki yang Allah berikan.

Gimana?

Apa lebih bisa dipahami? Apa lebih membuka kesadaran? Apa lebih menggugah? Kalau buat saya, iya banget.

Contoh Implementasi Pemaknaan Takwa

Ketika berpuasa, kita bisa aja minum atau ngemil di siang hari, selama ngga ada manusia yang liat. Tapi yang menahan diri kita apa? Kesadaran akan hadirnya Allah, yang mungkin ngga begitu kita ingat kalau kita ngga puasa.

Ketika berbuka, kita seneng banget tuh, kita berdoa sebelum berbuka, “Ya Allah, terimalah puasaku dan segala amal ibadahku hari ini”. Lagi-lagi, kita distimulasi untuk menghadirkan kesadaran bahwa apa yang kita lakukan ini disaksikan oleh Allah.

Dari situ, sebenarnya kita bisa lihat bahwa menaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya (khususnya shaum Ramadhan) adalah stimulan untuk membangun kesadaran akan kehadiran Allah.

Dengan syarat, ketaatan dalam perintah dan larangan-Nya dilakukan dengan benar ya: kalau shalat khusyu’, kalau puasa ikhlas (mindful, aware, niat dari dalam hati), kalau sedekah bukan untuk ngebuang recehan.

Sebaliknya, kesadaran akan kehadiran Allah juga akan memperkuat kemampuan seseorang untuk menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya (”Oke, mau menghadap Allah nih, masa aku shalat pake baju bekas bobo?”). Jadi, saya pikir ini seperti continuous feedback loop.

Tips Mengasah Kesadaran Akan Kehadiran Allah

Oke, meskipun ini perenungan pribadi, karena ini dipublikasikan maka saya tetap harus bertanggung jawab menutupnya dengan baik.

“Mengasah kesadaran akan kehadiran Allah” adalah closing yang berat, tapi paling engga saya bisa bagikan beberapa usaha saya untuk melatihnya.

Pertama, bangun mental model hubungan antara kita dan Allah yang lebih personal. Alih-alih berpikir bahwa kita cuma satu makhluk yang ngga signifikan dan mungkin ngga Allah pedulikan karena Dia “sibuk” dengan alam semesta dan manusia lain yang istimewa, ingat bahwa Allah juga Maha Dekat, Maha Tahu, Maha Mendengar, Maha Menyayangi, Maha Memperhatikan sehingga kamu bisa berkomunikasi secara personal dengan Allah.

Dia tidak seperti manusia yang kalau banyak kerjaan pusing dan skip, Dia menunggu kamu untuk datang kepada-Nya. Berkomunikasi, berterima kasih, meminta maaf, berharap, menangis.

Ingat juga bahwa Dia available setiap waktu, ngga cuma di waktu shalat–misalnya. Lagi kerja, lagi ngasuh anak, lagi beberes rumah; lagi senang, lagi marah, lagi sedih; kamu bisa berkomunikasi dengan Allah tentang hal seremeh apapun.

Kedua, pahami bacaan dan doa-doa dalam ibadah. Iya, misalnya bacaan shalat, coba dipahami. Caranya jangan cuma baca artinya secara keseluruhan, tapi pelajari kata per kata.

“Rabbi”–wahai Tuhanku, “ighfirli”–ampuni dosaku, “warhamni”–sayangi aku, “wajburni”–cukupilah aku, “warfa’ni”–tinggikan derajatku, “warzuqni”–berilah aku rezeki, “wahdini”–berilah aku petunjuk, “wa’afini”–sehatkan aku, “wa’fu’anni”–maafkanlah aku.

Bisa pelajari juga akar katanya, misal “ighfirli” dari kata “ghafara”, yang artinya “mengampuni”, asal maknanya “menutup”. Wah ini bisa didalami lebih jauh lagi, silakan cari sendiri ya.

Sedikit belajar Bahasa Arab, biar setiap kita mengucapkan doa dalam shalat, hati kita tahu betul kita sedang berkomunikasi apa dengan Allah.  Biar setiap beristighfar, bertasbih, bertahmid, hati kita benar-benar mean it.

Ketiga, sering-sering mikirin what this life is all about. Bayangin setelah membaca ini kamu terkena serangan jantung lalu meninggal, kamu ngerasa siap apa engga? Kalau engga, kenapa? Karena ngga ada amal yang bisa dibanggakan? Kalau gitu itu PR kamu, segera bikin amal yang bisa kamu banggakan saat dihisab nanti.

Atau karena banyak dosa? PR kamu adalah taubat + mengubur dosa-dosa dengan amal baik yang banyak.

Kalau ingat bahwa kita belum siap dihitung amal dan dosanya di hadapan Allah, kita jadi bisa melihat apakah karir, bisnis, investasi yang kita upayakan itu adalah sarana mempersiapkan diri atau menjadi distraksi dari apa yang benar-benar penting.

Coba bikin daftar yang harus kamu siapkan agar jika suatu hari kamu terbaring di rumah sakit, sadar ga lama lagi kamu akan mati, hati kamu ngerasa tenang dan siap menghadap Allah, seperti yang dideskripsikan di Al-Fajr:

“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku.”

Misalnya, jika profil kamu adalah seorang ayah dan suami:

1. Sedekah rutin untuk anak yatim (misalnya ini amal andalan kamu) 2. Istri dan anak yang siap ditinggalkan secara mental dan bertekad untuk menyusul saya di surga (melanjutkan berbagai amal sholeh sepeninggal kamu) 3. Rumah untuk anak dan istri biar mereka punya tempat bernaung 4. Passive income untuk menafkahi keluarga meski saya ngga ada, biar mereka ngga susah dan menyusahkan orang lain (3 dan 4 sekilas materialistis, tapi tujuannya bernilai amal sholeh)

Itu daftar simplistik dan contoh aja.

Poinnya adalah sering-sering melatih diri kita mengingat apa yang paling esensial dalam hidup (yaitu siap ketika sudah saatnya kita menghadap Allah) dan mengkalibrasi terus menerus kesibukan kita supaya selalu dalam kerangka membuat Allah ridha sama kita.

So, mari kita membangun, mengasah, dan menjaga kesadaran kita akan ke-Maha-Hadiran Allah.

Wallahu’alam.

3 years ago

jika di hadapan manusia kamu tidak ada artinya, sayang sekali jika di hadapan Rabb mu juga begitu.

4 years ago

Aku anak rumah tangga yang tak pandai memasak

Aku kesal dan mengeluh jika orang-orang rumah mendapukku sebagai koki utama untuk makan malam keluarga. Bukan...bukannya aku males hyung, tapi karena aku insecure dengan ketidakmampuanku untuk menyenangkan lidah-lidah costumerku. ya ampun, aku sudah membayangkan masakanku tidak akan melewati indra pengecap mereka dengan sopan.

Saat aku memasak, ada saja kekurangannya. Nasi yang lembek, Ikan goreng yang gosong, sayur tumis yang over kuah, gorengan perkedel yang susah dikunyah saking kerasnya. Ehmm macam-macam. Dan rasa hambar adalah citarasa khas untuk semua jenis masakanku.

Aku hanya bisa mengomel sambil memasak, " gapapa nih orang-orang rumah makan masakanku ? Kan gak enak, kan hambar :( ".

Mama hanya menanggapi, " ya gak akan bisa enak kalau gak belajar, gak dilatih ".

Bahkan caraku memotong sayuran pun masih kena protes mama, " ya Allah ndah, motongnya jangan kecil-kecil gitu, tapi seperti ini..apa salahnya nak bertanya ".

Kupikir untuk memotong sayuran, aku bisa memakai insiatif dan instingku sendiri saja. Yaaa tapi ternyata inilah buktinya aku memang kurang dibidang memasak.

Tapi sebagai anak rumah tangga, aku tidak bisa menghindari pekerjaan rumah yang satu ini. Walaupun di sore hari aku sudah mengerjakan cucian piring yang banyaknya masya Allah, tetap saja tugas memasak makan malam tidak sah jika bukan aku yang mengerjakan, pasti suka dapet kodean tuh " wah udah jam berapa nihh makan malem belum ada ", yesss kadang aku masak kalau udah mendekati jam 9 malem, tadinya ngarep kakak yang ngerjain tapi tetep kaan wkwk. Fyi, untuk sarapan dan makan siang aku bebas tugas karena di jam tersebut aku sedang sibuk-sibuknya mengajar di kelas online-ku ( jadi wajar aja kalau aku yang diharapin untuk masak makan malam emang, wkwk gimanaa sih aku 🤣😂😂 )

Tapi beberapa hari yang lalu, aku dapet teguran halus dari Allah lewat IG-TV nya si eteh geulis Ghaida Tsurayya, pokonya dari video si teteh aku diingetin kalau kegiatan memasak itu juga sebuah ibadah, bayangin seberapa banyak pahala yang kita hasilkan saat orang-orang rumah memenuhi kebutuhan primernya ( baca : makan ) dari hasil jerih payah kita, itu berarti kita memenuhi salah-satu tujuan kita diciptakan, yaitu menjadi orang yang bermanfaat. Apalagi menjadi orang yang bermanfaat untuk keluarga dekat sangat dianjurkan kan ? :). Hmmm... bener juga, selama ini aku suka mengomel saat memasak, ya mana mungkin bakal dinilai ibadah. Hiksss. Akutuu jadiii merasa bersalah sepenuhnya sama orang-orang rumah, karena gak membuatkan mereka hidangan yang dibuat dari hati. Ya Allah faghfirlii.

Dan sejak saat itu, aku bertekad ingin mahir dibidang memasak, yaaa paling tidak aku bisa menguasai basicnya. Tiap masak aku banyak bertanya dan belajar, dan mencari tahu apa saja kesalahan² memasak yang biasa kulakukan sehingga tidak ada kemajuan....daaan tadaaa akhirnya kemampuan memasakku improved. Walaupun gak beda jauh sama yang udah-udah 😂 kadang masih suka hambar , kadang masih suka aneh juga rasanya.

Well, betapa indahnya perjalanan belajar yang landasannya berorientasi akhirat. Semangat! Semangat !!!

4 years ago

Realistis Aja

Dunia ga peduli apakah kamu seorang manager yang susah untuk constantly reading articles atau sering ikut meetup karena ngasuh anak di rumah. Atau apakah kamu seorang mahasiswa yang gabisa ke perpustakaan just for the sake of seeking knowledge karena menanggung kehidupan sekian orang adik. Atau apakah kamu seorang wanita karir yang cari nafkah sekaligus urusin rumah sementara suaminya gabut.

Yang dunia pedulikan itu hasil, output, sesuatu yang keliatan. Sorry this is harsh, but empathy-thingy itu kemewahan. You can’t expect the world to listen to your story and menye-menye.

You know what to do in this condition?

Firstly, communicate, talk, pray, to God, “Dear God, this is hard for me. Aku ingin mengeluh, tapi aku tau Engkau sedang melihat bagaimana aku melalui ini. Maka catatlah kesabaranku ini sebagai pahala yang banyak. Jadikan ini keistimewaanku dibanding makhluk-Mu yang lain.”

Secondly, stop caring about what people would think about you. Just do your best to tackle this and that, finish this and that, but shut your inner voices yang bilang, “Wah nanti aku dinilai ga perform”, “Wah nanti aku keliatan bodoh”, etc. Be a bodoamat person selama kamu udah lakuin yang terbaik yang kamu bisa. Biarkan hatimu bertawakkal–”I’ve done my very best, so whatever will be, will be.”

Thirdly, just keep moving forward, don’t look back, you can slow down but don’t stop, because hardship won’t last forever. At some point things will get easier. If not, then you haven’t pass through the storm, maybe you haven’t faced the center of the storm–brace yourself, but after that things will get better. Remember Dory’s song, “Just keep swimming.. Just keep swimming”

Good luck!

Butuh meluapkan kisahmu? Kirim ke https://yasirmukhtar.tumblr.com/submit.

3 years ago

Soundtrack belajar dan nugas

4 years ago

Justru melalui hari yang sibuk dan padat itu menyenangkan, seharusnya aku khawatir tapi aku lupa meluangkan waktu untuk itu.

9 months ago

Kalibrasi Life Purpose

Pernah saya membuat life purpose karena saya yakin saya ini istimewa, dilahirkan ke dunia untuk sebuah tujuan besar. Kemudian saya belajar bahwa keistimewaan seseorang bukanlah bawaan lahir, tetapi hasil kerja keras yang terarah dalam waktu yang lama. Saya pun menyadari bahwa dengan kerja terkeras sekalipun, saya belum begitu istimewa, sebab banyak yang kapabel untuk bekerja lebih keras-lebih cerdas dari saya. Maka ini tidak menjadi alasan yang kokoh untuk membangun life purpose.

Pernah saya membuat life purpose karena saya haus akan aktualisasi diri. Saya ingin menjadi seseorang yang penting, signifikan, yang menciptakan dampak, karena saya ingin. Kemudian saya belajar, mungkin ini adalah bentuk egoisme terselubung. Seolah positif, seolah demi orang lain, padahal sesungguhnya ini adalah tentang “aku”.

Dalam kalibrasi life purpose terkini, saya ingin life purpose saya disandarkan pada sesuatu yang lebih sederhana dan lebih tidak membebani, namun sustainable. Saya ingin agar life purpose ini menjadi tiket saya untuk bahagia di akhirat. Life purpose yang nilainya bisa mengalahkan segunung bahkan selautan dosa-dosa saya.

Untuk itu, layaknya membangun aset dan memilih investasi, saya mempertimbangkan beberapa faktor yang perlu ada dalam proyek pencapaian life purpose ini, yaitu:

1. Dampaknya scalable dan sustainable. Luas, masif, bahkan berlanjut antar-generasi.

2. Menjawab masalah fundamental kehidupan masyarakat modern. Menghadirkan manusia-manusia yang lebih sehat, lebih cerdas, lebih kuat ekonominya.

3. Bertumbuh dengan sangat cepat, self-sustain, dan suatu saat akan menjadi sangat besar.

Sedikit-banyak, saya on the track saat ini. Tetapi saya menduga bahwa apa yang saya kendarai saat ini bukanlah kendaraan yang paling optimal untuk life purpose ini. Sesekali pikiran saya menjelajahi berbagai kemungkinan masa depan; saya bisa membayangkan skenario-skenario yang lebih ideal lagi, namun masih tak nampak jalan-jalan menuju ke sana.

Well, I guess the best thing I can do right now is to excel at things I do. Maybe I’ll see the way when the time is right.

  • drinkwatersoon
    drinkwatersoon liked this · 3 years ago
  • drinkwatersoon
    drinkwatersoon reblogged this · 3 years ago
drinkwatersoon - Jarang Mampir
Jarang Mampir

less is more

209 posts

Explore Tumblr Blog
Search Through Tumblr Tags