apa salah jika aku terus menghindari hal-hal yang membuatku tidak nyaman?
aku bimbang. takut salah langkah. jika kuhadapi dan kuterobos saja segala hal yang membuatku tidak nyaman, apa aku akan baik-baik saja?
aku memilih jalan lebih jauh untuk menunggu angkot di ujung pertigaan jalan daripada jalan langsung ke terminal yang jaraknya lebih dekat. aku benci bapak penjual asongan yang kerap memaksaku menaiki angkot pilihannya. aku tidak nyaman, bukankah aku bebas untuk memilih dan menaiki angkot mana saja? tempatku bekerja dilewati oleh angkot segala jurusan, jadi aku lebih fleksibel dalam menyetop angkot. Tapi bapak penjual asongan ini mengira aku hanya menaiki angkot jurusan tertentu.
ini salah satu contohnya. hal-hal kecil yang membuatku tidak nyaman saja lekas kuhindari, apalagi hal-hal besar?
saat ini aku berpikiran untuk resign dari tempat bekerja. karena aku merasa terkucilkan. aku tidak nyaman dianggap tidak ada.
tapi buat apa aku resign? toh jika berada di tempat baru sepertinya aku akan mendapatkan hal serupa.
karena kejadian seperti ini hanya terus berulang.
kenapa ya?
oiya ada yang salah dariku.
aku orang yang tidak baik. apa aku pantas menerima semua ini karena kelakuanku sendiri?
apa aku jahat?
sejahat itu? sampai tidak ada yang mau duduk disampingku.
Hallo kak Dea, tau tempat kursus web design online atau offline di Surabaya yang bagus? Saya tertarik belajar web design otodidak tapi basic ilmunya 0 banget, terima kasih sebelumnya kak, stay safe and stay sane dimanapun kak Dea berada..m
Dicoding bagus sih. Online.
Tiap kali gue ngerasa tenggelam dalam pikiran sendiri atau ngerasa jadi centre if universe, gue mengingat speech mendiang David Foster Wallace.
This is water....
This is water...
Kita hanya ikan kecil di tengah lautan luas.
lapor
Pasca aku kirim pesan ke dia pekan lalu dan mengungkapkan kerinduan aku *aelah wkwkwk, amazingly aku sudah gak kepikiran dia lagi sampai sekarang hahahaha.
ternyata bener ya perasaan itu perlu dirilis aja biar tenang 🤣😆
aku hampir tidak pernah membelanjakan uangku untuk sesuatu yang kurasa tidak perlu. Aku sangat sulit mengeluarkan uang untuk sesuatu yang sifatnya tidak primer atau bukan prioritas utama. saat berbelanja di supermarket atau toserba, aku akan memilih barang yang sekiranya aku butuhkan. Tidak jarang barang-barang lucu ataupun jajanan yang menggemaskan menarik perhatianku, aku terdiam lama berfikir untuk mengambil atau tidak. Beberapa tak jadi kuambil beberapa berhasil mengalahkan logikaku dan masuk ke keranjang belanja. Sebelum menuju kasir aku mempunyai kebiasaan melihat barang-barang belanjaan yang ada dikeranjang terlebih dahulu. Aku akan meninjau ulang barang-barang yang aku ambil dan memastikan semuanya barang yang akan kubawa pulang adalah sesuatu yang benar-benar aku perlukan dan tentunya tidak membuatku menyesal diakhir. Yass dan barang yang tadinya hanya sekedar keinginan akan aku kembalikan di raknya yang semula karena sudah melalui proses pertimbangan hehe. langkah menyortir ulang sebelum ke kasir ini cukup efektif karena melindungiku dari kegiatan berbelanja yang sifatnya impulsif. Karena aku tahu barang yang kubeli hanya sesuai dengan keinginan bukan sesuai kebutuhan hanya akan membuatku menyesal kemudian
Ketika hati saya gusar, terganggu akibat suatu peristiwa di luar diri saya, kadang saya teringat dengan kisah sebungkus garam, sebotol air, dan sebuah danau—dengan berbagai versinya. Mungkin kamu juga pernah mendengarnya.
Berikut kisahnya—versi saya.
Seorang santri sedang berjalan bersama ustadznya ke sebuah tempat.
Mendapatkan kesempatan untuk mengobrol, Santri mengadu kepada ustadznya bahwa ia kesal setiap kali membuka media sosial. Pasalnya, ia sering menemukan orang-orang mem-bully kyai dan tokoh-tokoh panutannya yang ia anggap soleh.
Ia juga heran, bagaimana bisa kyai dan para tokoh panutan itu tetap tenang menjalani hidup di tengah segala caci maki, seolah tidak terjadi apa-apa.
Sang Ustadz tersenyum, mengajak Santri melewati sebuah danau yang tak jauh dari tempat tujuan mereka. “Tolong belikan sebotol air mineral di warung itu”, kata Ustadz. “Oh ya, sekalian, satu bungkus garam ya”.
Santri keheranan. Tapi, menduga bahwa ia akan mendapatkan sebuah jawaban, ia penuhi permintaan ustadznya tanpa bertanya.
Tibalah mereka di pinggir danau.
“Ini, Ustadz”, Santri menyerahkan air mineral dan garam yang diminta Ustadz.
Ustadz pun mengambil segenggam garam, dimasukkannya ke dalam botol berisi air mineral, lalu diaduknya sebentar. “Coba, rasakan air dalam botol ini”, kata Ustadz.
Dengan wajah agak meringis, Santri mencicipi air dalam botol itu. “Asin, Ustadz”, katanya dengan ekspresi wajah yang aneh.
Lalu, Ustadz melempar sisa garam yang ada ke danau.
“Sekarang, kamu rasakan air danau ini”, pinta Ustadz.
Santri pun memasukkan air danau ke mulutnya, layaknya berkumur untuk berwudhu. “Mm.. Tawar, Ustadz”, katanya.
Ustadz dan santri kembali berjalan. “Nah.. Botol dan danau ini seperti hati manusia. Ada hati yang begitu sempit, ada pula hati yang luas. Bagi hati yang sempit, sejumlah ujian bisa mengacaukan pemiliknya, layaknya garam yang membuat asin seisi air dalam botol. Tetapi bagi hati yang luas, ujian yang sama mungkin tidak akan cukup untuk mengganggu sang pemiliknya, sebagaimana sebungkus garam yang hilang tanpa meninggalkan rasa di danau tadi.”
Santri pun berefleksi. Pikirnya, mungkin hatinya masih sekelas botol air mineral, sementara hati kyai dan tokoh-tokoh panutannya sekelas danau luas. Ah, saatnya belajar melapangkan hati.
Bisa relate?
Nah, pertanyaannya, gimana cara kita melapangkan hati?
Kapan-kapan kita eksplorasi.
Allah selalu punya cara untuk menjatuhkan daun yang kering, yang akhirnya tersapu oleh mereka yang bertugas, Allah juga selalu punya cara untuk menumbuhkan tunas baru di atas tanah yang kering, bagaimana pun keadaannya. Begitu pula dengan semua harapan, mudah bagi Allah untuk membuat harapanmu mati, atau menumbuhkan harapan baru yang kamu yakini telah tiada. Semua mudah bagi Allah, tapi bagimu semuanya sulit dan rumit jika tanpa-Nya.
Segala sesuatu jika tanpa-Nya tidak akan pernah menjadi apa-apa, akan gagal dan akan hancur tiada sisa. Bagaimana bisa manusia sombong dengan usaha dan hanya mengandalkan tangannya ? Benar saja yang pertama kali Allah ajarkan kepada kita dalam kisah nabi Adam adalah soal kepatuhan, agar kita tidak sombong dengan apa yang kita miliki saat ini. Toh kita pun sebenarnya tidak memiliki, hanya dititipi.
@jndmmsyhd
Real love for Allah means you are willing to make sacrifices to protect your faith regardless of what it is you have to give up. Love for Allah should always be greater than a temporary desire to sin
bread making around the world + joy!
Aku dulu gak punya gawai, kebayang gak rasanya hidup di jaman di mana mostly orang-orang punya gawai dan aku tidak termasuk di kelompok sebagian besar itu. Rasanya minder, hehe.
Aku hanya bisa menatap orang-orang yang menonton video lewat layar gawainya sambil menunggu angkot yang kami naiki menyelesaikan ritual mengetem. Grup mustawa harus nebeng di handphone kakak, dan sering kali aku dikira laki-laki karena name profile nya atas nama kakakku, Sahabatku mengira aku menghindar dan tidak peduli dengan pesan yang ia kirimkan, ia mengatakan aku berubah padahal mengetahui pesan itu masuk saja aku tidak tahu, kakakku hanya membiarkan pesan itu masuk tanpa mengabariku, dan lagi jika aku ketinggalan angkot malam aku harus meminjam gawai seseorang yang tidak aku kenal agar bisa menghubungi kakakku dan memintanya menjemputku.
Disaat itu, aku hanya berharap bisa mempunyai satu saja. Tidak perlu yang mahal dan punya spek kamera yang bagus, tidak perlu keluaran terbaru. Aku hanya butuh satu yang bisa kupakai untuk menghubungi keluarga, teman, dan bergabung di grup whatsapp ma'had tanpa perlu merepotkan kakak lagi. Iya, sudah cukup untuk tujuan komunikasi saja... jika aku diberikan maka aku akan sangat bersyukur.
Beberapa bulan kemudian, harapanku terwujud. Kakak membelikanku gawai yang memang benar kubutuhkan. Bukan gawai yang mereknya terkenal dan bukan dengan kualitas kamera yang bagus, tapi saat itu aku sangat senang dan bersyukur.
Kini, aku sudah menggunakan gawai yang berbeda. Gawai dengan spek biasa, walaupun begitu aku tidak pernah mempunyai niat untuk menggantinya dengan yang lebih bagus dan terbaru. Karena aku sudah merasa cukup dengan gawai yang kupakai sekarang.
Tahu tidak ?
Kini aku merasakan rasa "minder" itu lagi, minder karena sebagian besar teman-teman dan orang-orang seangkatan sudah sukses meraih gelar sarjananya, sedangkan i just same here...aku masih tetap aku yang hanya lulusan lembaga bahasa Arab dan tidak punya title apapun. Untuk karir di bidang pendidikan yang sekarang kujalani, ternyata aku butuh title sarjana itu.
Harusnya aku bisa dipromosikan untuk menempati guru mapel bahasa Arab, orang-orang melihatku mampu di posisi ini, tetapi karena takut terkendala administrasi maka kemungkinan besar mereka akan membuka rekrutmen untuk mencari yang skill dan pendidikannya sesuai.
Aku minder, karena aku bukan sarjana.
Aku tahu, banyak orang yang bisa sukses tanpa gelar sarjana dan aku bahkan tidak perlu menganggap diriku sendiri rendah karena tidak mempunyai that privilege.
Namun, sama dengan beberapa tahun yang lalu saat aku menginginkan satu saja gawai yang dapat kupakai, hari ini aku menginginkan gelar dibelakang namaku. Gelar dari kampus biasa saja tidak apa-apa, gelar yang dapat membuatku lebih percaya diri.
Aku merencanakan untuk melanjutkan pendidikan, namun sayangnya aku banyak pertimbangan untuk hal ini. Yang pertama, siapa yang akan aku repotkan untuk pembiayaannya ? Aku sudah terbiasa hidup mandiri sejak 2 tahun yang lalu dan untuk meminta dibiayai kuliah akan menjadi hal yang sangat berat untuk dikatakan pada keluarga besar mengingat dua adikku juga sedang kuliah. Jika mengandalkan penghasilanku sendiri, sepertinya masih tidak mungkin. Dan pertimbangan yang kedua, aku memutuskan pulang. Sampai kapan aku akan merantau di pulau ini ?, aku punya mama yang aku rindukan setiap saat. Kapan lagi aku bisa menghabiskan waktu bersama beliau jika bukan sekarang ? . Lupakan karir, uang, dan investasi pengalaman, bahkan gelar impian.... mama benar-benar menjadi alasan terbesarku untuk pulang.
Ma, aku tidak ingin ragu lagi dengan masa depanku sendiri, aku berniat meninggalkan semua kepenatan ini dan pulang ke pangkuanmu.
“Saya lagi nyoba jadi seorang mindful minimalist. Artinya saya bakal nyoba buat nyederhanain semua hal yang ada di hidup saya. Saya mau mulai nyoba ngeefektifin apa-apa yang ada di dalam hidup saya itu, kira-kira buku apa ya yang cocok buat ini?”
Stephen R Covey di bukunya yang berjudul The 7 Habits of Highly Effective People nyebutin ada 7 kebiasaan pribadi yang efektif. Apa aja emang? Be Proactive, begin with the end in mind, put first thing first, thinking win-win, seek first to understand then to be understood, synergize, sama sharpen the saw.
Orang reaktif: coba aja saya punya koneksi kenceng. mungkin saya bakal sharing tentang minimalisme di podcast
Orang proaktif: saya masih bisa sharing minimalisme di IG, terus di design biar lebih menarik
Pas ngebangun rumah, sebelum kita peletakan batu pertama kan kita pasti dah tau pengen kaya gimana ya rumahnya nanti. Gimana interiornya, mau berapa tingkat rumahnya, ada berapa kamar, dan lain-lain. Ini contoh begin with the end in Mind yang dimaksud.
Pernah denger empat kuadran skala prioritas ga? ya penting medesak dll. Nah katanya orang efektif itu ga ngabisin waktu di kuadran penting dan mendesak malah, tapi ia bakal prioritasin di kategori penting dan tidak mendesak. Mereka lebih ngehargain hubungan sama orang lain kebanding deadline-deadline tugas.
Pas negosiasi, orang orang efektif itu ngambil solusi yang nguntungin kedua belah pihak (win/win), gak menang kalah (win/loose), kalah menang (loose win), apalagi kalah kalah (loose/loose). Kalau pun gak menang menang, pilihannya gak ada kesepakatan.
Pas kita komunikasi sama seseorang, kita harus mendengarkan dengan tujuan buat memahami, bukan membalas. Soalnya bisa jadi kacamata yang kita gunain pas nge respon (tanpa memahami) gak cocok sama masalah yang dihadapin oleh lawan bicara kita.
Orang yang efektif itu bakal nyoba nge sinergiin kelima kebiasaan sebelumnya. Mereka berfokus ke empat kemampuan dasar unik manusia, motif menang/menang, sama keterampilan mendengarkan yang baik.
Kebiasaan nomor tujuh ini ngeluangin waktu buat ngasah gergaji. Kebiasan ini ningkatin aset terbesar kita, yakni diri kita. Ada empat dimensi yang tercakup: mentak, fisik, sosial/emosional sama spiritual. Kuncinya itu belajar - berkomitmen - melakukan.
Sebenernya ada juga katanya the 8th habit, tapi buat sementara itu dulu deh soalnya habit ke delapan ini ada satu buku yang ngebahas. semoga next time kita bisa review. Semoga nambah insight baru (walaupun ini buku lama sih), dah ah merci beaucoup and thanks for having a beautiful mind.