Semakin terbukanya akses informasi pada era internet ini (alah-alah bahasaku berasa mau bikin latar belakang skripsi) membuat setiap orang bisa mendapatkan apa saja yang dia butuhkan. Serius, like, Google itu mengakomodasi informasi apapun dengan keyword yang sesuai. Asal jangan cari tahu siapa nama nenek moyangmu. Manalah dia tahu kecuali kau cucu Soeharto yang perpustakaan SD juga penuh sama buku tentang dia. Kebiasaan ngelantur, intinya bukan itu.
Ini entah karena aku semakin tua makannya merasa kebutuhan akan ilmu semakin kuat atau karena emang aku sebodoh itu yang selalu merasa nggak tahu apa-apa atau karena kepalaku yang selalu riuh dan inginnya memikirkan hal yang berfaedah. Ketiganya nggak buruk. Terasa semenjak aku kuliah semester awal kebutuhan untuk men-supply diri dengan sesuatu hal yang baru terus meningkat. Semakin mengkhawatirkan sampai saat ini. Selalu ada di kondisi ‘apa yang sudah kupelajari atau dapat hari ini?’ atau ‘anjir itu orang berasa ngerti segalanya kok aku nggak ngerti apa yang dia omongin ya’ (mostly anak ask.fm which is dia anak politik yang tentu saja aku lemah di ilmu itu tapi terasa cukup tertarik untuk mempelajarinya). Dan jadilah walaupun cuma basic dan effortnya tidak terlalu kuat sampai harus akses jurnal internasional (seperti referensi yang dia gunakan) bahkan cuma akses dari berita-bertia ngehe perpolitikan dalam negeri setidaknya konsepnya dapat.
Ketidaktahuan itu nikmat juga.
Bagi yang betulan sadar bahwa mengisi kepala dengan ilmu adalah sebuah keharusan maka mencari ilmu itu adalah kenikmatan yang sensasional. Ketidaktahuan yang nikmat. Apalagi kalau menyadari bahwa diri jauh tertinggal dari orang seusia kita yang melesat jauh di depan misalnya. Seperti halnya aku yang baru saja ketampar bolak-balik rasanya sama orang-orang yang masuk 30 under 30-nya majalah Forbes. Masing-masing bidang sudah digarap dengan gemilang seperti consumer technology, retail and e-commerce, the art, manufacturing and energy, finance and venture capital, enterprise technology, health and skincare serta media, marketing and advertising. Sedangkan aku di sini menyadari bahwa aku jauh, sejauh-jauhnya tertinggal dan lambat, selambat-lambatnya belajar dari mereka semua. Mungkin bukan penghargaanya yang membuat tertampar, tapi bagaimana orang-orang ‘di bawah 30 tahun’ itu begitu well-informed sampai akhirnya membuat sesuatu yang bermanfaat untuk orang lain. Itulah tujuan piramida puncak dari belajar.
Tapi nggak apa-apa. Akan ada saatnya buatku dengan cara yang berbeda. Alhamdulillah aku sudah memulai: menulis. Menulis bagiku adalah salah satu cara untuk memberikan hal yang berguna bagi orang lain. Tidak melulu harus menjejelkan ideologi yang kupunya ke pembaca, justru lebih ke membawa mereka pada berbagai perspektif sampai akhirnya mereka bisa menentukan penyikapan terbaik atas sesuatu yang didapatkannya. Sikap kepoku tentang banyak hal ingin aku bagi juga kepada yang membaca tulisanku. Walaupun masih sangat terbatas ilmunya, tetapi aku coba mengamalkan seperti yang HR Bukhari katakan ‘sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat.’ Persyaratan yang mengikutinya adalah ilmunya harus jelas dan pemahaman dari penyampai harus baik. Entah aku sudah memenuhi persyaratan itu atau belum tapi setidaknya dengan menyampaikan suatu hal bisa merangsang siapapun nantinya yang ingin tahu lebih mendalam.
Kondisiku sendiri saat ini masih ingin tahu begitu banyak hal dari semua bidang keilmuan. Mungkin nggak semua. Minus teknik, kedokteran, akuntansi tidak terlalu menjadi minatku dikarenakan ilmu profesi itu terlalu teknis dan aku sudah jauh tertinggal. Tapi seperti sebelumnya yang aku sampaikan, bahwa bisa tahu konsep saja juga sudah menyenangkan buatku. Mungkin spesifik yang sering menjadi concern-ku adalah hal-hal yang banyak menjadi headline atau kategori berita juga seperti politik, ekonomi, kesehatan (secara general), fashion, teknologi minus otomotif, gaya hidup, travelling dan lain sebagainya. Aku memaksakan diri untuk setidaknya tahu secara general tentang hal yang aku sebut di atas. Beberapa cara yang kulakukan untuk membuat pencarian insight ini menjadi menyenangkan adalah: 1. Membaca berita harian (aku baca Kurio karena WSJ bahasanya ketinggian buatku) 2. Follow akun-akun penyedia berita di Twitter 3. Follow orang-orang yang concern tentang apa yang menjadi ketertarikanku (ini bisa di semua media sosial yang kita mainkan, bahkan tak jarang ada beberapa orang yang konsisten aku follow di semua akun media sosialnya) 4. Tonton video bermanfaat (aku paling senang tonton TED, Buzzfeed bahkan serandom Allux) 5. Mendengarkan podcast (biasanya kalau menemukan source yang proper, dia sudah lihai membahas berita apa yang sedang ‘in’) 6. Main pinterest (astaga ini sangat amat kesukaan. Bagaimana melihat infografik-infografik itu disajikan dengan visual yang menyenangkan) 7. Main ask.fm (ini mengacu ke poin nomor tiga yaitu dengan memanfaatkan tanda bintang untuk setiap akun yang kita anggap apa yang keluar dari jawabannya akan mencerdaskan kita) 8. Main instagram (ini sangat penting untuk melatih visual terutama bagi yang suka fotografi spesifik fashion atau travelling) 9. Membaca blog (entah milik so called influencer atau bukan, selama merasa dia worthy dan good enough untuk diambil ilmunya ya baca saja!)
Cara nomor 1-9 rasanya menyenangkan semua untuk dilakukan. Aku menjaga dan memaksa diri untuk terus konsisten mengakses beberapa poin tersebut. Karena sesungguhnya terlalu banyak yang terjadi setiap harinya di saat kita selalu bilang kalau ilmu kita belum ada setetes air laut. Dan ilmu seluas lautan itu bisa kita dapat atau temukan dengan mudah sekarang. Pertanyaannya adalah selalu dan selalu mau atau tidak. Mungkin kalau kita tidak merasa harus mengetahui banyak hal, setidaknya ahli di bidang yang kita pelajari dengan intens seperti jurusan sekolah atau kuliah pun tak apa. Dan kembali menerapkan setetes air di lautan itu. Keingintahuan itu bisa ditumbuhkan secara alami atau dipaksa tumbuh. Sampai pada akhirnya kita ingin membuat diri kita ahli di dalamnya atau hanya sekedar tahu.
Cinta untuk masa yang belum berani bertanggung jawab adalah nafsu semata. Bagaimana harapan menghamba pada pemilik diri yang rapuh. Bukan pada Maha Pembolak Balik Hati. Saat cinta datang, yang perlu dilakukan adalah meminta menjadi siap dihadapanNya. Sebab cinta terlalu agung untuk mereka yang hanya senang bingar mengumbar hawa nafsu.
“Adakah patut mereka dengki kepada manusia atas nikmat yang Allah s.w.t berikan kepada mereka daripada kurnia-Nya?”
QS An-Nisa : 54
Wildan's day! Barakallah :) – View on Path.
Hey guys! So I’ve been receiving questions regarding my note-taking style and strategy for quite some time now but I believe I have never answered them in detail. The good news is, I finally decided to make a post about this (plus, I had fun making the graphics :D). Note that I am a visual learner, so my note-taking methods may not be effective for some of you, but I hope you can all learn something.
Class Notes
I only use one notebook for all my class notes, an A4 grid notebook whose pages I divide into two columns.
I use the outline method for in-class notes, which means I write information chronologically, in the order that they are taught. Some teachers do not have properly structured presentations/lessons (good thing my physics teacher does) so when in need, I use arrows to connect related information.
Abbreviations to me are one of the most important things to master when taking notes. I personally make them up as I go along. Some examples of abbreviations I use are:
w/c - which
w/ - with
cpd - compound
envt - environment
digenz - digestive enzyme
It might be confusing, but to me, knowing the context and part of speech are enough for all abbreviations to be comprehended.
Here’s an example: ‘Indonesia’s tsunami pre-warning system is made up of two types of components’ could become ‘Indo’s snmi pre-warn sys 2 type comp’.
After Class
The first thing I would do is highlight keywords and terminology (and sometimes formulas). For physics, since my teacher is relatively succinct, I don’t really highlight, but for humanities and biology, I look for words that would be expected by a mark scheme, words that are crucial to the understanding of each particular piece of information.
I would then check if the material taught coincides with the syllabus, and if not, note down any points that are missing or have yet to be taught. You could write these on a post it or on the syllabus itself, but I prefer to highlight the syllabus’ pdf file.
Rewritten Notes
My rewritten notes are arranged based on the order they appear in the syllabus unless there are pieces of information that are related to more than one topic.
I use a black pen for rewriting notes as well as colored pens to write keywords and terminology only. I know some people who write whole sentences in colored pens but to me that is ineffective; we all have our own learning styles. When making tables, I usually use different colors for different columns (see the table for different types of radiation above) which is most often the color I associate with each word. For example, water would be blue, ocean would be a darker shade, ice would be a lighter shade, and water vapor would be purple.
I still abbreviate words in my rewritten notes, but they’re not as condensed as the ones in my class notes. Another thing I find helpful is leaving a bit of space between separate points especially if the page doesn’t have a lot of diagrams. I can’t think linearly, so I can’t remember super lengthy bullet points.
I use mildliners and a drawing pen to make my diagrams (more of these in my biology notes) but I only start with pencil if it’s a complex diagram. I rarely highlight my rewritten notes, but even if I do, it’s usually only the headings and formulas.
I don’t have a rough draft for my notes, but I try to visualize the layout. I try to alternate between words and pictures/diagrams so that when I’m sitting for an exam, all I have to do is imagine that I’m looking at that page and I can remember where everything is.
Well, that’s all from me. I hope that this information could be of some use to every single one of you. Don’t hesitate to ask me questions if you’re confused about note-taking or any other problems you might have :)
Ada masanya nanti akan kulahap tanpa permisi tulisan-tulisan magismu. Kunikmati tanpa henti bukan atas nama candu. Karena ritme yang kau hadirkan berbeda namun menenggelamkan karena itu aku perlu mempersiapkan diri atas alegori yang kau cipta.
Nau
Day 6
Owh So Muslim (OSM)
Purchase OSM Ramadhan Booklet here! http://www.owhsomuslim.com/osmshop
beginilah :)
Ahlan wa Sahlan ya Ramadhan. Mohon maaf atas segala khilaf. Semoga barakah selalu menyertai umat Muslim di seluruh dunia. Aamiin. 😊 – View on Path.
Maybe human nature when their existence questioned or simply because disturbted to make a move shown an existence. Not trying to counting people who actually cool or quashi-cool but you wanna one of them. There is so much possibility how people can be that awesome. One thing important I think talked about 'diligent'. Hard work or genius both talked about diligent. Like, it's a verb main key for people who wanna build their existance. Hard work and diligent of course in straight way. Let's say about genius. Genius won't appeared if they stay silent. If they doesn't speak up or make something phenomenal though effortless. And that 'effortless' can't sustainability when they stopping there. Nonetheless, it would be fertilized with diligence. In my new adjective, I found about diligent delliger which one in urban dictionary means some one who is hard worker and can multi task. Since past, I wanna standing front and grab that adjective exceed thousand others. Diligent, for me will take you everywhere. Get a life with pretentious air. Adjective that to this day don't want yet to stay in my day. This, maybe vent of me. And an attempt to remind myself that this adjective can be cultivated to reach. Not just a wished and shouldn't just a wished. Like, if that 'dilligent delliger' still in adjective i wished for, I am not gonna everywhere. And maybe you too.
Aku ngerasa banget sih kalau minat baca di Indonesia itu rendah banget. Aku ngomong setelah lihat data. Tapi asumsi awam juga bakal nunjukin itu sih dengan melihat betapa sepinya perpustakaan. Toko buku untungnya masih ramai. Entah kenapa rasanya segitu susahnya menumbuhkan rasa cinta akan ilmu pengetahuan. Padahal kalau mereka rajin baca kan secuil pun nggak ada ruginya. Malah keuntungannya bisa berkelanjutan untuk dirinya sendiri terlebih untuk orang lain kedepannya. Karena ilmu juga nggak akan pernah habis.
Cerita dipersingkat dengan adanya diversifikasi produk untuk mengakses ilmu pengetahuan. Sampai sekarang masih banyak sih penggalangan buku untuk berbagai perpustakaan di daerah-daerah. Itu adalah sesuatu yang sangat positif dan sangat perlu membuka akses semua orang akan ilmu pengetahuan atau pendidikan. Aku nggak ngerti ya hitung-hitungan secara sistematis, tapi di kepalaku muncul pop up bahwa seharusnya akses itu dibarengi dengan akses teknologi.
Kenapa teknologi begitu penting? Ya sekarang jamannya internet. Dan dunia dalam kurun waktu sepuluh tahun saja sudah berubah sangat drastis. Apa ada jaminan bahwa buku yang didistribusikan ke daerah-daerah itu masih relevan? Bukannya mau bilang bahwa ilmu itu akan sia-sia, bukan. Tapi perlu ilmu yang mutakhir dan terkini juga karena yang akan dihadapi oleh banyak orang adalah masa mendatang, bukan masa lalu.
Dengan teknologi, akses ilmu pengetahuan akan langsung bisa dikonfirmasi apakah masih relevan atau tidak. Contoh dari akses terhadap ilmu pengetahuan adalah adanya perpustaan digital. Kalau tidak salah di Indonesia diinisiasi oleh Pemerintah Jakarta dengan mengeluarkan aplikasi bernama iJakarta. Di iJakarta terdapat begitu banyak buku dari berbagai katagori seperti Sejarah, Agama, Filsafat, Fiksi, BSE dsb dan semuanya gratis. Hal tersebut adalah transformasi yang sangat positif bagi dunia pendidikan. Tapi sayangnya gaung iJakarta ini masih belum terdengar secara luas. Selain itu secara teknis juga masih perlu banyak pembenahan. iJakarta ini secara positif juga memberikan apresiasi kepada penulis dengan cara memberikan ruang kepada penerbit-penerbit untuk memberikan akses ebook-nya di Jakarta yang mana orang lain juga dapat mendonasikan untuk setiap buku yang ada di sana. Sehingga bisa menjadi bagian dari royalti untuk penulis. Secara detailnya mengenai iJakarta aku juga kurang paham. Tapi yang jelas bahwa iJakarta mestinya dibawa ke ranah yang lebih luas dengan akses yang tidak terbatas.
Selain tentang iJakarta, yang ingin kutulis di sini adalah tentang Audiobook. Audiobook adalah rekaman dari isi buku yang dapat diakses melalui perangkat audio. Sudah lumayan lama aku mendengarkan audiobook dari berbagai cerita. Yang terkenal dan sering didengar adalah Kindle dari Amazon. Tapi tentu saja itu berbayar. Kabar baiknya, ada audiobook yang bisa diakses secara gratis. Namanya adalah LibriVox. Librivox adalah free public domain audiobook. Di dalamnya banyak sekali audiobook dari buku akademik, biografim sejarah, filosofi maupun cerita fiksi yang terkenal dari William Shakespeare, James Joice, Helen Keller, Kate Chopin, Eleanor Gates dan masih banyak lagi. Dan semuanya bisa diunduh secara gratis. Audiobook di Librivox direkam oleh para volunter dan dapat diakses oleh siapapun, kapanpun dan dimanapun. Sangat amat super keren!
Tentang audiobook ini, aku sangat berharap bahwa Indonesia mulai berpikir sevisioner ini untuk menambah akses terhadap ilmu pengetahuan semakin mudah. Dan semuanya bisa dimulai dengan mempersiapkan teknologi yang layak. Karena tidak ada yang lupa bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tugas dari negara.
Human behavior flows from three main source : desire, emotion, and knowledge. The only true wisdom is in knowing you know nothing-
233 posts